Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal Pasca Pengakuan Kedaulatan | Biasa Membaca -->

Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal Pasca Pengakuan Kedaulatan

Pemerintah mulai merancang pembentukan UUD yang akan diberlakuka pada masa NKRI yang kedua ini. Tanggal 20 Juli 1950 Panitia Gabungan RIS-RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan berhasil merampungkan tugasnya. Setelah melalui serangkaian pembahasan di DPR, rancangan UUD Negara Kesatuan diterima, baik oleh Senat dan Parlemen RIS maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah, rancangan UUD tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1950,maka lahirlah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950).

Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal Pasca Pengakuan Kedaulatan

Unsur-unsur dari UUD 1945 maupun dari luar Konstitusi RIS terkandung dalam UUDS 1950 ini. Dalam UUD 1945, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, Kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, yang juga harus disetujui oleh DPR. Presiden dapat mengeluarkan dekrit jika diperlukan. Namun kabinet, baik secara keseluruhan maupun secara perorangan, masih bertanggungjawab pada DPR yang mempunyai hak untuk menjatuhkan kabinet seluruhnya atau memberhentikan menteri-menterinya secara individual. 

Menurut UUDS 1950, sistem demokrasi liberal yang harus berjalan di negara kesatuan Republik Indonesia. Maksudnya, pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Presiden berfungsi sebagai kepala negara dan bukan sebagai kepala pemerintahan, sebab kegiatan pemerintahan dilaksanakan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam pelaksanaannya, sistem demokrasi liberal ini menempatkan partai yang berkuasa mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, di atas kepentingan nasional. Instabilitas politik ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet. Kabinet yang sedang berkuasa dengan mudah dijatuhkan oleh pihak oposisi. Akibatnya, kabinet-kabinet yang silih berganti itu tidak sempat melaksanakan programnya, dan pembangunan menjadi sulit untuk direalisasikan.

Selama masa demokrasi liberal, Indonesia mengalami tujuh kali pergantian kabinet dan perdana menteri, yaitu sebagai berikut:

  1. Muhammad Natsir (Masyumi) dari tanggal 6 September 1950 sampai dengan tanggal 27 April 1951;
  2. Dr. Sukiman (Masyumi) dari tanggal 27 April 1951 sampai dengan tanggal 3 Maret 1952;
  3. Wilopo (PNI) dar tanggal 3 Maret 1952 sampai dengan tanggal 1 Agustus 1953;
  4. Ali Sastroamijoyo (PNI) dari tanggal 1 Agustus 1953 sampai dengan tanggal 12 Agustus 1955;
  5. Burhanuddin Harahap (Masyumi) dari tanggal 12 Agustus 1955 sampai dengan tanggal 24 Maret 1956;
  6. Ali Sastroamijoyo (PNI) dari tanggal 24 Maret 1956 sampai dengan tanggal 9 April 1957; dan
  7. Ir. Juanda (tidak berpartai) dari tanggal 9 April 1957 sampai dengan tanggal 10 Juli 1959. 
Kehidupan masyarakat belum menunjukkan adanya peningkatan setelah kembali ke negara kesatuan. Untuk menjaga kestabilan ekonomi serta menciptakan kemakmuran, pemerintah belum melakukan langkah-langkah yang berarti. Hancurnya infrastruktur telah memperburuk situasi ekonomi yang diakibatkan perang kemerdekaan. Inflasi dan defisit dalam anggaran belanja merupakan warna dominan pada masa ini. Secara psikologis, keadaan ekonomi yang umumnya buruk ini berpengaruh terhadap degradasi mental bangsa.

Dalam mengatasi masalah ekonomi, pemerintah memandang perlunya diambil suatu tindakan yang urgen. Dalam bidang keuangan, yaitu dikeluarkannya peraturan pemotongan uang pada 19 Maret 1950 yang menentukan bahwa uang bernilai 2,50 gulden ke atas dipotong, sehingga nilainya tinggal setengahnya. Dampaknya, banyak pemilik uang yang dirugikan, namun pemerintah mulai dapat mengendalikan inflasi, eksport Indonesia meningkat dan pendapatan negara juga bertambah.

Masalah berat lainnya adalah bidang kepegawaian, baik sipil maupun militer. Maka upaya yang dilakukan adalah rasionalisasi atau pengurangan jumlah tentara pasca perang. Personil bekas anggota angkatan perang Belanda yang akan dilebur ke dalam APRIS meliputi kira-kira 33.000 orang dengan 30 orang perwira. Pada angkatan udara diserahkan 10.000 orang. Selain masalah finansial, pembentukan APRIS sebagai salah satu keputusan KMB ternyata berdampak psikologis yang kurang baik. Di satu pihak TNI, berkeberatan untuk bekerjasama dengan bekas musuhnya. Sebaliknya, dari pihak KNIL terdapat pula tuntutan untuk ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan menentang masuknya TNI ke dalam negara bagian tersebut. 

Gejala ini terlihat di Bandung berupa gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang mengirimkan ultimatum kepada pemerintahan RIS dan negara Pasundan serta menuntut untuk diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya negara tersebut. Peristiwa APRA tersebut dimanfaatkan oleh Pemerintah militer Jawa Barat untuk mencapai tujuannya yaitu melikuidasi negara Pasundan. Di kalimantan Barat, Sultan Hamid II menentang masuknya TNI serta menolak untuk mengakui menteri pertahanan RIS. Di Makasar muncul gerakan Andi Azis, dan di Ambon muncul Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Selain harus mengatasi suasana instabilitas nasional sebagai akibat bom-bom waktu sengaja ditinggalkan oleh pihak kolonialis, pemerintah juga harus tetap menghadapi pemberontakan DI/TII, terutama di Jawa dan Sumatera.
Materi Demokrasi Liberal Lainnya : 

Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal Pasca Pengakuan Kedaulatan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com