6 Gangguan Keamanan Yang Muncul Dari Dalam Negeri | Biasa Membaca -->

6 Gangguan Keamanan Yang Muncul Dari Dalam Negeri

Sebelum membahas masalah-masalah instabilitas nasional tersebut lebih lanjut, ada baiknya kita tinjau agak mundur ke belakang. Gangguan keamanan yang muncul dari dalam negeri sudah dimulai sejak pasca ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Persetujuan ini dinilai merugikan Indonesia, sehingga menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifudin pada tanggal 23 Januari 1948. Presiden Sukarno menunjuk Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dengan membentuk Kabinet Presidensil yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada KNIP. Langkah Presiden tersebut mengecewakan Amir Syarifudin.

6 Gangguan Keamanan Yang Muncul Dari Dalam Negeri

A. PKI Madiun

Amir Syarifudin bersama kelompok sosialis membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada bulan Februari 1948. FDR yang ingin menghidupkan kembali PKI, mendapat dukungan dari Muso yang baru pulang dari Moskow. Selain itu, FDR mengecam isi perundingan Renville, padahal Amir Syarifudin sendiri yang menandatanginya.

PKI melancarkan kampanye yang mendiskreditkan Sukarno dan Hatta sebagai pemimpin nasional. Mereka menggembar-gemborkan bahwa pimpinan nasional harus dipegang oleh PKI yang mereka anggap mampu memimpin rakyat melawan Belanda.

Pada tanggal 18 September 1948, laskar PKI merebut kantor-kantor penting di Madiun dan memproklamasikan negara Soviet-Indonesia yang berdasarkan komunisme. Rakyat dan pejabat pemerintah yang tidak menyetujui aksi PKI itu dibantai secara kejam.

Panglima Jenderal Sudirman menugaskan Divisi Siliwangi di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Sungkono yang sedang hijrah di Yogyakarta untuk menumpas PKI. Pada tanggal 30 September 1948, Madiun berhasil dikuasai kembali oleh TNI, dan laskar PKI ditumpas habis. Muso terbunuh, sedangkan Amir Syarifudin diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Peristiwa ini menyadarkan rakyat bahwa kaum komunis sangat tega menikam perjuangan bangsa Indonesia dari dalam, padahal bangsa kita sedang berjuang menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali. Tentu saja pengkhianatan PKI ini makin melemahkan kekuatan RI sehingga Belanda mengambil kesempatan untuk melancarkan Agresi Militer Kedua.

B. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Di Bandung muncul gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Gerakan ini didalangi oleh kolonial Belanda, dan diselubungi dengan keyakinan masyarakat akan datangnnya Ratu Adil dan bijaksana. Tujuan APRA adalah ingin mempertahankan bentuk federal di Indonesia, dan mempertahankan adanya tentara tersendiri di tiap negara bagian RIS.

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA dengan 800 orang bersenjata lengkap menyerang kota Bandung. Serangan ini telah menewaskan 79 anggota APRIS termasuk Letnan Kolonel Lembong, perwira Siliwangi yang tertembak di kantornya (kini menjadi Museum Mandala Wangsit di Jalan Lembong). Pemerintah RIS segera mengirim bantuan ke Bandung. Di Jakarta juga diadakan perundingan antara Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda untuk mendesak Westerling pergi dari Bandung.

Sementara itu APRA mengarahkan gerakannya ke Jakarta. Di sini Westerling mengadakan kerja sama dengan Sultan Hamid II. Mereka merencanakan akan menyerang gedung tempat diselenggarakan Sidang Kabinet, dan menculik semua menteri, serta akan membunuh Menteri Pertahanan Mr. Ali Budiardjo dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB. Simatupang. Berkat kesigapan APRIS, rencana jahat APRA itu dapat digagalkan. Pada tanggal 22 Februari 1950, Westerling meninggalkan Indonesia menuju Singapura dengan menggunakan pesawat terbang milik Belanda. Dengan perginya Westerling, APRA kembudian bubar.

C. Andi Azis

Gerakan yang dijalankan oleh Kapten Andi Azi, seorang perwira KNIL di Makasar, merupakan bentuk rongrongan kedua yang dialami perintah RIS. Pemberontakan ini dilandasi oleh sikap penolakan masuknya pasukan APRIS ke Sulawesi Selatan.

Untuk mengamankan Makasar, pada tanggal 5 April 1950, Pemerintah RIS mengirimkan pasukan APRIS yang dipimpin Kolonel Alex Kawilarang. Dalam peristiwa itu sedikit prajurit TNI menjadi korban dan beberapa perwira ditahan, termasuk Letnan Kolonel A.J. Mokoginta.

Pada tanggal 8 April 1950, Pemerintah RIS mengeluarkan ultimatum agar Andi Azis melaporkan diri ke Jakarta. Ternyata Andi Azis tidak kunjung datang untuk melapor sehingga ia ditangkap sebagai pemberontak untuk kemudian diadili.

D. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Bentuk rongrongan lain bagi Pemerintah RIS adalah adanya gerakan separatis dengan membentuk negara sendiri, yaitu dinamakan Republik Maluku Selatan (RMS) . RMS didirikan pada tanggal 25 April 1950 oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa Agung NIT.

Untuk mengatasi gerakan RMS, pada tanggal 12-13 Juni di selenggarakan Konferensi Maluku di Semarang, yang intinya agar orang-orang RMS segera berdamai dengan pemerintah. Akan tetapi, usaha itu pun gagal, dan terpaksa pemerintah menumpas gerakan mereka dengan kekuatan senjata. Pada pertempuran ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur.

Dengan semangat juang yang tinggi, akhirnya kota Ambon dapat dilumpuhkan. Sisa-sisa anggota RMS banyak yang melarikan diri ke gunung-gunung, dan selama beberapa tahun lamanya mereka melakukan serangkaian pengacauan. 

Pada bulan November 1950, daerah Maluku Selatan kembali stabil walaupun Soumokil baru tertangkap pada tahun 1963. sebagai jalan pemecahan, orang-orang Ambon yang tidak ingin bergabung kepada RI dipersilakan pergi ke negeri Belanda. Sampai sekarang kelompok RMS di Nederland menjadi masalah bagi pemerintah di sana.

E. Pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam indonesi (TII)

Kevakuman Jawa Barat akibat hijrahnya pasukan Siliwangi ke Yogyakarta tahun 1948 sebagai realisasi Perjanjian Renville, ternyata dimanfaatkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini dikenal sebagai Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), yang berpusat di daerah Priangan Timur.

Proklamasi NII diumumkan pada tanggal 4 Agustus 1949. Pada bulan Agustus 1951 Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan menyatakan bergabung dengan DI-TII Kartosuwiryo. Kemudian, pada bulan September 1953, Daud Beureuh pemimpin di Aceh menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari DI-TII. Daud Berureuh merasa kecewa sebab Aceh sesudah tahun 1950 digabungkan dengan Propinsi Sumatra Utara, padahal Aceh banyak jasanya selama revolusi.

Selama periode RIS serta periode demokrasi liberal, masalah DI-TII belum dapat diselesaikan. Baru pada bulan Agustus 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi berkat operasi “Pagar Betis” dari rakyat Jawa Barat yang dipimpin oleh Letnan Suhanda. Kartosuwiryo lalu diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Kemudian, pada bulan Desember 1962 pemberontakan Daud Beureuh di Aceh diselesaikan secara musyawarah. Daud Beureuh bersedia menghentikan pemberontakan, tetapi Aceh dijadikan Daerah Istimewa. Adapun Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan tertembak mati pada bulan Februari 1965. 

F. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta

Akibat beberapa daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat dalm bidang pembangunan daerah, beberapa tokoh militer (panglima perang) di Sumatra membentuk dewan-dewan pemerintahan pada akhir tahun 1956. dewan pemerintahan tersebut antara lain Dewan Bateng dipimpin Kolonel Ahmad Husein di Sumatra Barat, Dewan Gajah dipimpin Kolonel lMaludin Simbolon di Sumatra Utara, dan Dewan Garuda dipimpin Kolonel Barlian di Sumatra Selatan. Beberapa tokoh Masyumi seperti Muhammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara serta tokoh PSI seperti Sumitro Joyohadikusumo bergabung ke Sumatra Barat.

Pada tanggal 2 Maret 1957 Kolonel Ventje Sumual di Sulawesi memproklamasikan Permesta (Perjuangan Semesta) yang merupakan pemerintah tandingan dari pemerintah pusat. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Berita ini ternyata mendapat sambutan dari daerah-daerah lain, seperti dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kemudian Kolonel D.J. Somba sebagai pimpinan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) pada tanggal 17 Februari 1958 menyatakan keluar dari pemerintah pusat dan bergabung dengan PRRI.

Usaha penanggulangan pemerintah melalui jalan musyawarah untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas tidak membuahkan hasil. Selanjutnya pemerintah memutuskan untuk melancarkan operasi militer. Operasi terhadap PRRI di Sumatra Tengah itu diberi nama Operasi 17 Agustus, yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. Operasi ini berakhir pada tanggal 4 Mei 1958.

Sikap pemerintah terhadap Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) juga cukup tegas. Penumpasan Permesta dilancarkan melalui Operasi Merdeka pada bulan April 1958, di pimpin oleh Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat. Secara keseluruhan pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958. Akhirnya, pada tahun 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan amnesti umum bagi mereka yang terlibat PRRI/Permesta, sehingga tokoh-tokoh PRRI/Permesta kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Materi Demokrasi Liberal Lainnya : 

6 Gangguan Keamanan Yang Muncul Dari Dalam Negeri Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com