Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB | Biasa Membaca -->

Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB

Tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) bersama pasukan Sekutu dibawah komando Pasukan Inggris mendarat di Indonesia pada September 1945. Bersamaan dengan itu Belanda berhasil kembali memasuki wilayah Indonesia dan menguasai beberapa wilayah Indonesia. Apalagi setelah komando pasukan Inggris di Asia Tenggara menyerahkan wilayah Indonesia (kecuali Jawa dan Sumatra) kepada Belanda pada Juli 1946. Hingga akhir tahun 1946 Belanda berhasil merebut kembali
sebagian besar wilayah Republik Indonesia yang semula meliputi wilayah bekas Hindia Belanda kini tinggal mencakup Sumatra dan Jawa-Madura. Agresi militer Belanda atas Indonesia tersebut diam-diam tidak dipersoalkan oleh Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa dari awal Amerika telah berpihak pada Belanda yang berambisi kembali menguasai bekas tanah jajahannya dan menghiraukan tuntutan asazi Bangsa Indonesia.

Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB

Seperti telah diketahui bahwa keinginan Belanda menguasai kembali Indonesia sangat besar. Dengan cara membonceng tentara Sekutu, gelagat tentara Belanda sudah tercium hangat rakyat Indonesia. Saat itu pula badan-badan keamanan rakyat dan milisi yang terdiri atas laskar-laskar pejuang bentukan rakyat telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk jika terjadi perang. Semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan sampai titik darah penghabisan adalah harga mati. Karena itu kontak senjata antara Badan Keamanan Rakyat (BKR) beserta laskar-laskar pejuang sipil dengan pasukan NICA tidak dapat dihindarkan. Maka meletuslah pertempuran hebat rakyat Indonesia dengan tentara NICA di berbagai kota seperti Medan, Bandung, Semarang, Ambarawa, Surakarta dan yang terhebat di Surabaya yang di kenal dengan pertempuran 10 November. Tindakan agresor Belanda atas Indonesia mendapat kritikan dan kecaman internasional, tetapi Amerika belum mengambil ketegasan sikap apa pun dan terkesan membiarkan.
Upaya penyelesaian konflik Indonesia-Belanda juga diselesaikan melalui berbagai perundingan dengan tujuan agar sengketa kedua negara dapat diselesaikan secara diplomatik. Tidak kurang empat kali telah diadakan perundingan. Perundingan pertama diadakan April 1946 di Hoge Veluwe (Negara Belanda) yang tidak menghasilkan keputusan apa pun atau dengan kata lain mengalami jalan buntu.

Kemudian tidak berselang lama diadakan perundingan lagi pada 15 November 1946 berhasil mencapai persetujuan yang dikenal dengan perjanjian Linggarjati. Namun, isi Perjanjian Linggarjati tersebut ditolak sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak menghendaki terbentuknya uni Indonesia-Belanda. Akibat peristiwa ini Kabinet Syahrir mundur, dan embali memburuknya hubungan Indonesia-Belanda. Amerika khawatir kebuntuan diplomasi ini akan berujung kembali kontak senjata kedua belah pihak dan bagi kepentingan Amerika kedepan keadaan ini jelas tidak menguntungkan.

Pada 20 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan militer sepihak terhadap Republik Indonesia. Akibat agresi militer pertama tersebut, tentara Belanda menguasai sebagian besar kota-kota besar dan kecil di Jawa dan Sumatra serta menguasai pelabuhan-pelabuhan penting yang waktu itu telah dikuasai Republik. Aksi militer Belanda ini mendapat kecaman pedas dan kritikan masyarakat internasional, seperti Negara Australia, India dan Uni Sovyet. Bahkan rakyat Amerika sendiri melalui Partai Buruh Sosialis menyatakan keprihatinannya atas situasi yang berkembang di Indonesia.

Mereka mendesak Presiden Truman (Presiden AS waktu itu) supaya Pemerintah Belanda menghentikan serangan dan tidak lagi menggunakan persenjataan, senapan dan pesawat terbang Amerika untuk maksud-maksud jahat terhadap Indonesia. Menariknya, meskipun gelombang protes dan tekanan internasional terhadap aksi militer Belanda atas Indonesia terjadi dimana-mana, tetap saja Amerika enggan untuk mengecam dan tidak menyalahkan Belanda.
Konflik yang semakin memanas antara Indonesia dan Belanda akibat agresi Militer tersebut, atas permintaan India dan Australia supaya diadakan perundingan kembali melalui jasa baik PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Permintaan tersebut di sambut baik PBB, kemudian terbentuklah Komisi Tiga Negara (Komisi Jasa-jasa Baik) yang terdiri atas Amerika, Australia dan Belgia. Melalui pengawasan PBB, komisi tersebut memfasilitasi perundingan kembali antara Indonesia-Belanda di atas kapal Renville milik Amerika yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Dalam perjanjian Renville tersebut pihak Indonesia diwakili Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Belanda diwakili oleh H.J. Van Mook selaku Letnan Gubernur Jenderal Belanda. Hasil perjanjian tersebut telah disetujui dan diterima kedua belah pihak pada 19 Januari 1948. 

Penandatanganan Perjanjian Renville mendapat pujian yang luar biasa dari Presiden Amerika Truman. Menurutnya keberhasilan Perjanjian Renville mencerminkan sebuah keberhasilan dalam menghentikan permusuhan dan membantu prinsip politik yang berdasarkan kebebasan, demokrasi dan kemerdekaan bagi Republik Indonesia Serikat. Di sisi lain persetujuan Renville yang telah ditandatangani Amir Syarifuddin tersebut menimbulkan krisis kepercayaan para pemimpin Indonesia pada Kabinet Syarifuddin. Kecaman senada juga ditujukan kepada Amerika yang telah mendukung hasil perundingan dengan menyebutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan revolusioner Indonesia. Peristiwa ini berujung meningkatkan rasa tidak suka rakyat Indonesia kepada Amerika dan secara politis menguntungkan Uni Soviet dan PKI.

Sikap pesimis para pemimpin Indonesia terbukti terjadi ketika H.J.Van Mook secara sepihak melanggar hasil perundingan dengan menciptakan negara-negara bagian seperti Pasundan dan Madura yang tidak lain boneka-boneka Belanda semata. Sebagai kelanjutan dari pembentukan negara boneka Belanda tersebut pada 9 Maret 1948 Van Mook mengumumkan bahwa “Pemerintah Federal Sementara” telah terbentuk. Peristiwa ini kembali menciptakan ketegangan suhu politik dan memperburuk hubungan Indonesia-Belanda.

Di sisi lain para pemimpin komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan krisis kepercayaan tersebut dengan berbagai propaganda anti pemerintah dan sentimen anti Amerika. Harapan kaum komunis tertuju pada rakyat dan faksi militer yang kecewa dan mengalihkan dukungan mereka pada PKI yang waktu itu sedang berusaha mencari dukungan rakyat. Dengan menguatnya dukungan rakyat dan sebagian faksi militer pasca Perjanjian Renville, para pemimpin komunis yakin pada saatnya nanti dapat memainkan peranan yang lebih pada pemerintahan. Sekalipun pada medio 1948 anggota PKI baru berjumlah 3.000 orang, tetapi dengan melihat krisis kepercayaan rakyat pada pemerintah pusat, tidak mustahil rakyat akan beralih mendukungnya. Perkembangan situasi yang demikian itu membuat Konsul Amerika di Jakarta Charles Livengood sangat khawatir melihat terus meningkatnya popularitas PKI di mata rakyat.
Dengan meningkatnya popularitas komunis di Indonesia menjadi dilema bagi para pejabat Washington. Di satu sisi, kebijakan Amerika di Eropa Barat menekan Amerika mendukung rekolonialisasi Belanda atas Indonesia. Di sisi lain, dalam usaha memuluskan rencana tersebut, Belanda terus-menerus melanggar hasil Perjanjian Renville yang akhirnya menghasilkan kekecewaan rakyat Indonesia yang meluas kepada Kabinet Hatta. Kalau ini tidak hati-hati disikapi oleh Amerika maka dapat dimanfaatkan oleh kaum komunis (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan. Dalam suasana krisis epemimpinan nasional, peristiwa kudeta yang tidak diduga sebelumnya meletus di Madiun. Pada tanggal 18 September 1948 terjadi pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musso, Amir dan Sumarsono dengan tujuan mengulingkan Pemerintahan Hatta. Presiden Sukarno dan M. Hatta mengutuk keras Musso beserta rencananya mendirikan pemerintahan bergaya Soviet. Presiden Sukarno menugaskan Komandan Divisi Siliwangi (Kodam Siliwangi) Kolonel. A.H. Nasution memadamkan pemberontakan. Dibutuhkan dua setengah bulan untuk memadamkan pemberontakan tersebut dan pada 1 Desember para pimpinan PKI beserta 300 pengikutnya tertangkap sedangkan Musso sendiri tertembak dalam pertempuran. Setidaknya tercatat 8.000 rakyat Indonesia terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Keberhasilan Pemerintah RI menumpas pemberontakan PKI disambut gembira oleh Amerika. Tindakan tegas Pemerintah RI terhadap kaum komunis meyakinkan pejabat Amerika bahwa para pemimpin Republik bukanlah orang-orang komunis. Peristiwa tersebut menjadi pukulan telak bagi upaya Belanda yang dari awal meyakinkan dan mempengaruhi pejabat Washington bahwa para pemimpin nasional Indonesia adalah orang komunis.

Dalam kesempatan yang sama PBB terus mengupayakan cara tepat dan terbaik atas penyelesaian konflik Indonesia-Belanda pasca Perjanjian Renville yang mengalami kebuntuan. Namun tiba-tiba secara sepihak Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 melakukan agresi militer yang kedua. Agresi Belanda II tersebut telah menangkap dan memenjarakan Presiden Sukarno, wakil Presiden Hatta, Syahrir dan para pemimpin nasional lain. Sebelum meninggalkan Yogyakarta, Presiden Soekarno memerintahkan Syarifuddin Prawiranegara untuk sementara membentuk Pemerintah Darurat RI di Bukit Tinggi Sumatra Barat. Dengan adanya peristiwa Agresi Belanda II tersebut rakyat Indonesia sadar untuk mempertahankan kemerdekaan tidak hanya mengandalkan perjuangan diplomasi tetapi, juga dibarengi perlawanan senjata (menerapkan strategi perang gerilya).

Peristiwa agresi Belanda kedua tersebut membuat PBB mendapat tekanan luar biasa dari Pemerintah Inggris, Liga Arab, India, Partai Komunis Belanda, maupun rakyat Amerika sendiri untuk segera menengahi sekaligus mengakhiri konflik Indonesia-Belanda dengan jalan mengembalikan kedaulatan RI. Tekanan dunia internasional tersebut menjadikan Amerika dan PBB sepakat menekan Belanda segera berunding kembali dengan Indonesia dan membatalkan keinginan merebut kembali bekas tanah jajahannya. Dan pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan genjatan senjata dan dibukanya negoisasi kembali Indonesia-Belanda. Untuk memfasilitasi negoisasi kembali tersebut PBB membentuk UNCI (United Nations Commission for Indonesia) yang diberi wewenang yang lebih besar dalam penyelesaian konflik antarkeduannya.

Pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakan perundingan kembali penyelesaian konflik Indonesia-Belanda di Den Haag yang dikenal dengan konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam perundingan kali ini pemerintahan Truman mengisyaratkan perubahan sikap beralih mendukung perjuangan Bangsa Indonesia dan ingin secepatnya mengakhiri konflik diantara keduanya. Amerika menghendaki perundingan kali ini membahas dan mengatur berbagai hal menyangkut peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia. Sekalipun demikian dalam konferensi tersebut Amerika masih saja melindungi posisi Belanda dalam hal persoalan pengalihan tanggung jawab hutang kolonial, bentuk Uni Indonesia-Belanda, dan status Irian Barat. Pembicaraan mengenai masalah ini ternyata mengalami tarik ulur walaupun akhirnya permasalahan tersebut dapat disepakati. Pada tanggal 27 September !949 dilakukan seremonial secara bersamaan (di Belanda dan di Jakarta) peralihan kekuasaan secara resmi dari Belanda kepada Indonesia. Peristiwa ini merupakan lembaran baru sejarah Bangsa Indonesia setelah berabad-abad lamanya berada dalam kekuasaan kolonialisme, kini rakyat Indonesia secara resmi menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Menyusul pengakuan Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia, H.Merle Cochran diangkat menjadi duta besar pertama Amerika untuk Indonesia.

Selanjutnya : Konteks Perang Dingin dan Kepentingan Amerika di Asia Tenggara

Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com