Amerika di bawah pemerintahan Dwight D. Eisenhower (1953-1957) tetap melanjutkan kebijakan Perang-Dingin melawan kubu komunisme di Asia Tenggara. Mengenai kebijakan politik luar negeri terhadap Indonesia, presiden Eisenhower mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pendahulunya Truman. Ia tidak ingin mengulangi kegagalan yang sama dengan Pemerintahan Truman dalam upayanya menarik Indonesia ke Blok Barat tahun 1952. Karena itu Eisenhower berusaha menghindari campur tangan langsung yang tidak perlu atas politik dalam negeri Indonesia. Garis politik non-intervensi itu terlihat dari sikap Pemerintahan Eisenhower terhadap masalah Irian Barat.
Dari awal Pemerintah RI menentang ketetapan KMB dalam urusan Irian Barat yang menurut perjanjiannya, setahun kemudian akan dibicarakan kembali. Indonesia mengklaim bahwa Irian Barat adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Ketika Presiden Sukarno meminta dukungan Amerika untuk klaim tersebut, pemerintahan Eisenhower menolak. Begitu juga ketika persoalan tersebut di bawa ke PBB pemerintahan Eisenhower memilih abstain. Sikap Amerika yang dingin dalam penyelesaian Irian Barat membuat pemerintahan Sukarno kecewa.
Haluan politik luar negeri Indonesia dalam menyikapi arus Perang Dingin berubah ketika di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Kabinet Ali ingin menempuh strategi politik luar negeri bebas aktif, dimana Indonesia memainkan peran lebih aktif dalam masalah-masalah internasional, khususnya diantara negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka. Politik luar negeri yang diambil Indonesia tersebut membuat pejabat Washington gelisah. Menteri Luar Negeri Amerika Dulles waktu itu menanggapi netralitas tidak memihak Blok Amerika atau Blok Soviet sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Indonesia harus memilih salah satu Blok Barat atau Blok Timur. Dulles khawatir netralitas Indonesia hanya menguntungkan kubu komunis. Rasa curiga dan khawatir ini menjadi pendorong kebijakan Washington terhadap Indonesia berubah dari non-intervensi menjadi penuh intervensi.
Dalam tahun 1950-an PKI secara mengejutkan tampil kembali dalam panggung perpolitikan Indonesia. Bertambahnya dukungan rakyat khususnya di pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan PKI berhasil melakukan pendekatan aksi dan propaganda di akar rumput. Selain itu keberhasilan ahli propaganda PKI dalam menarik dukungan dari serikat sekerja (SOBSI) menjadikan jumlah anggota PKI meningkat tajam sekitar 850.000 di tahun 1954. Meningkatnya jumlah anggota PKI juga dipengaruhi faktor merosotnya ekonomi Indonesia yang secara struktural dan kondisional rakyat bawah mudah tersulut emosinya. Selain itu, faktor membaiknya hubungan pribadi dan kedekatan ideologis antara Presiden Sukarno dengan elit komunis membuat terbukanya ruang gerak aksi infiltrasi dan propaganda PKI. Jumlah anggota partai komunis yang terus berkembang secara signifikan ini memberi sinyal negatif bagi pejabat ashington melalui statement Menlu Amerika bahwa Indonesia dalam bahaya komunis. Karena itu Menteri Luar Negeri Dulles menyampaikan peringatan kepada para pejabat Amerika jangan ragu-ragu untuk menumbangkan pemerintahan yang sekarang ada sekiranya Indonesia mengarah menjadi negara komunis.
Pada tahun 1955 Indonesia melangsungkan hajat besar pesta demokrasi pemilu yang pertama. Pemilu ini berjalan demokratis dan sukses, tercatat 91,5 persen dari 39 juta orang memberikan hak suaranya. Empat partai besar memperoleh suara terbanyak dimulai dari yang pertama PNI (22,3 %), partai Masyumi (20,9 %), partai NU (18,4 %) dan PKI (16,4 %).14 Pemerintah Washington terkejut dengan hasil prestasi yang ditunjukkan PKI, mengingat bahwa mereka telah ditekan pemerintah tahun 1948 ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun yang gagal. Mengomentari hasil pemilu tersebut, John F. Dulles menyatakan keprihatinannya bahwa Indonesia sedang berada dalam kepungan komunis.
Beberapa pejabat Washington juga merasa khawatir sebab Masyumi yang sudah mereka bantu dengan sumbangan kampanye senilai 1 juta dolar AS, gagal menjadi pemenang pertama. Kekhawatiran ini cukup beralasan, perolehan suara PKI yang besar akan meningkatkan pengaruh komunis yang mendorongnya semakin jauh ke kiri. Di sisi lain, para elit PKI menafsirkan perolehan suara pemilu 1955 memberi sinyal bahwa waktunya telah tiba bagi mereka untuk memainkan politik praktis yang jauh lebih besar. Misalnya saja merancang pidato profokatif tentang peringatan kepada rakyat supaya waspada pada “kaum reaksioner” dalam negeri yang mau dimanfaatkan kapitalis asing (Amerika dan Belanda) untuk merongrong kedaulatan negara. Wacanawacana seperti ini terus dipropagandakan untuk menekan pemerintah dan menambah dukungan rakyat bagi PKI dalam penyelesaian Irian Barat yang terkatung-katung.
Hal ini semakin menjelaskan sikap bahwa apa yang menjadi keprihatinan dan tantangan Presiden Sukarno juga menjadi keprihatinan PKI. Dengan cara seperti ini PKI berhasil mengambil hati Presiden Sukarno dan berharap kedepan semakin diberi keleluasaan menari di panggung politik nasional. Kedekatan Sukarno dan PKI ini membuat pejabat Washington cemas dan berfikir keras memasang strategi baru menyelamatkan Sukarno dari pengaruh kaum komunis melalui cara membangun hubungan pribadi lebih hangat dengannya.
Selanjutnya : Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB
Selanjutnya : Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB
0 komentar:
Posting Komentar