Dalam Era
Globalisasi dewasa ini, peran warga negara, khususnya pemberdayaan
masyarakat memposisikan rakyat sebagai subyek utama pembangunan serta
tidak hanya sekedar obyek pembangunan. Indonesia terkenal sebagai negara
yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, namun rakyatnya hidup
dalam kemiskinan. Dengan pemberdayaan masyarakat berarti mengalihkan
kemampuan kepada masyarakat untuk memiliki sikap, ketrampilan dan
pengetahuan seperti disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah
putus asa, hemat, keterbukaan dan tanggung jawab. Namun dalam
prakteknya, upaya yang dilakukan pemerintah cenderung hanya melakukan
pengentasan kemiskinan melalui pemberian bantuan modal kecil, seperti
bantuan langsung tunai dan lain-lain dan hasil yang diperoleh adalah
rakyat tetap miskin.
Terdapat sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Bagaimana peran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menghadapi masalah tersebut. Untuk itu diperlukan suatu pemikiran dan langkah kongkrit menghadapi masalah besar tersebut melalui berbagai aktivitas yang dilakukan melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Istilah pemberdayaan (empower) menurut The New Lexicon Webster International Dictionary (1978 :322) berarti “ To authorize ; to warrant ; to license .-em . pow . er. – ment “. Pendapat tersebut mengandung tiga pengertian, pertama “to authorize”, yang berarti memberikan kekuasaan, kedua “to warrant” yang berarti memberikan wewenang, dan ketiga “to license” yang berarti memberikan lisensi atau memberikan izin. Dengan demikian pemberdayaan merupakan pemberian kekuasaan, wewenang serta izin dari satu pihak kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengertian yang sama disampaikan oleh Aileen Mitchell Stewart (1994 : 6-7) mengungkapkan bahwa : “ Pemberdayaan merupakan suatu cara praktis dan produktif untuk memperoleh hal-hal yang terbaik dari diri anda serta anggota lainnya. Pemberdayaan berlangsung melalui pembagian tugas guna menempatkan kekuatan nyata yang dapat digunakan secara lebih efektif. Hal tersebut berarti menyerahkan bukan hanya tugas, akan tetapi juga pembuatan keputusan serta tanggung jawab penuh”.
Selanjutnya penjelasan tentang Empower yang terdapat di Web Amerika (2007 : 1) Pemberdayaan berarti melengkapi setiap individu dan atau kelompok dengan berbagai ketrampilan, informasi, kekuasaan dan sumber-sumber yang disusun sedemikian rupa guna melaksanakan tanggung jawab mereka, yang dilakukan melalui suatu tim yang efektif.
Robert B. Maddux (Dalam Kristiyabudhi P. Hananto, 2001 : 9), mengemukakan bahwa tim yang efektif adalah : (1) Anggota menyadari ketergantungan diantara mereka, (2) Anggota tim ikut merasa memiliki pekerjaan dan organisasinya, (3) Anggota memiliki kontribusi terhadap keberhasilan organisasi, (4) Anggota bekerja dalam suasana saling percaya dan keterbukaan, (5) Anggota menjalankan komunikasi dengan tulus, (6) Anggota didorong untuk menambah ketrampilan dan menerapkannya dalam tim, (7) Mereka menyadari bahwa konflik dalam tim merupakan hal yang wajar untuk mengembangkan ide dan kreativitas, (8) Anggota berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi tim, walaupun keputusan tetap ditangan pemimpin apabila tim menemui jalan buntu.
Program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di berbagai negara sedang berkembang, khususnya Indonesia lebih banyak ditujukan kepada masyarakat miskin. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, sering terjadi bahwa program tersebut belum berhasil mencapai sasaran yang diharapkan yaitu adanya kemandirian masyarakat, baik dalam arti ekonomis, sosial, politis serta psikologis. Memang benar bahwa pemberdayaan masyarakat miskin merupakan suatu prioritas, namun haruslah disusun dalam suatu perencanaan program yang jelas. Selama ini program pemberdayaan sering digambarkan secara sempit sebagai pemberian dana bantuan atau kredit finansial kepada masyarakat miskin. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat selalu diarahkan kepada pengentasan kemiskinan.. Dalam hubungannya dengan masalah ini Michael Lipton (1977 : 38) memberikan kritik sebagai berikut : bahwa program pengentasan kemiskinan banyak dilaksanakan di daerah perkotaan sehingga kemiskinan di pedesaan tidak berkurang, dan hal ini tidak adil dan tidak efisien.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa situasi seperti itu oleh Lipton disebut sebagai ‘urban bias’ atau bias perkotaan, dan pengentasan kemiskinan dianggap menghadapi kegagalan.
Mengantisipasi masalah kemiskinan, pemerintah Indonesia dewasa ini (Harian Pikiran Rakyat, 5 Juli 2007 : 10) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan “Program Keluarga Harapan” (PKH) sebagai program pengganti “Santunan Langsung Tunai” (SLT) pada bulan Juli 2007. Berbeda dengan Santunan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan lebih difokuskan kepada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan. Secara finansial, setiap rumah tangga sangat miskin (RTSM) akan menerima bantuan setiap tahunnya Rp. 600.000.- hingga Rp. 2.200.000.- yang diberikan per tiga bulan. Tahap awal, dilakukan uji coba di tujuh provinsi termasuk Jawa Barat dengan alokasi anggaran empat triliun rupiah. Anggaran disiapkan dalam APBN Perubahan 2007. Daerah sasaran untuk uji coba Program Keluarga Harapan di Jawa Barat, antara lain : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Kriteria penerima bantuan adalah rumah tangga miskin kronis, rentan terhadap guncangan, dan ‘transitory poverty’ . Calon penerima bantuan harus memenuhi persyaratan peningkatan sumber daya manusia, misalnya penerima bantuan harus menyekolahkan, memeriksakan kesehatan ke puskesmas dan atau memerhatikan kecukupan gizi anak dan lain-lain.
Robert Chambers (1983 : 113-114) mengungkapkan bahwa Pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik dan atau kalori masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment). Selanjutnya Chambers menyatakan pula bahwa kemiskinan merupakan suatu kompleksitas dari hubungan sebab akibat yang saling berkaitan antara ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weaknesess), kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation). Saling keterkaitan inilah yang disebut sebagai konsep perangkap deprivasi (concept ofdeprivation trap), dimana ketidakberdayaan akan membatasi akses terhadap sumber daya negara, mempersempit keadilan hukum bagi penyelewengan (abuses), menyebabkan hilangnya kekuatan tawar menawar (bargaining power) , membuat rakyat semakin rapuh terhadap permintaan mendadak untuk pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu persengkataan.
Oleh karena itu, Chambers mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat adalah melalui “ suatu proses pemberdayaan dengan memberikan kesempatan/wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui “terobosan pertukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengalihan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut.
Sekolah-sekolah dewasa ini memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar untuk membantu masyarakat. Salah satu aktivitas yang dilakukan guru dan siswa adalah melakukan praktikum pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui metode Portofolio, dan biasanya dilakukan di masyarakat. Dalam praktikum tersebut dipersiapkan perencanaan yang matang, agar dapat diciptakannya suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Potensi dari setiap sekolah tersebut dapat dikembangkan , sehingga terdapat keterpaduan program perencanaan yang terintegrasi yang dibina oleh Kepala Sekolah. Dalam kegiatan-kegiatan ini diperlukan adanya keterbukaan, baik dalam hal informasi, sumber dana, maupun pengelolaannya sehingga baik guru, siswa maupun masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan ikut bertanggung jawab secara bersama dan menikmati hasilnya bersama.
Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini di kalangan para ilmuwan, termasuk di lingkungan pendidikan terdapat adanya kecenderungan yang kuat akan kebutuhan diterapkannya pendekatan interdisipliner dalam membahas suatu permasalahan (interdisciplinary approach). Sebab-sebab dari timbulnya gerakan tersebut, diantaranya karena spesialisasi studi salah satu disiplin seringkali melepaskan diri dari permasalahan sosial kemasyarakatan yang biasanya dihadapi sehari-hari oleh para siswa, maupun permasalahan umum yang menyangkut kepentingan umum.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, diperlukan adanya keterpaduan yang mengintegrasikan aspek pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dalam implementasinya.
Sebagaimana dibahas di atas, bahwa pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan kepada memiliki sikap : disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah putus asa, hemat, keterbukaan serta tanggung jawab. Berbagai komponen tersebut berkaitan langsung dengan tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk mendalami dan mengimplementasikannya.
Sikap-sikap tersebut dapat dikembangkan melalui pendekatan yang terintegrasi yang sudah direncanakan sedemikian rupa, kemudian dicoba dilaksanakan dengan cara :
a. Menelaah kembali tujuan pendidikan nasional, dalam hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang : (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan (3) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,
b. Anggota masyarakat diorganisir secara berkelompok sesuai dengan minat dan bakatnya serta aktivitasnya masing-masing.
c. Setiap orang harus mampu mengatur dirinya sendiri dan mampu bekerja dalam kelompok.
d. Setiap orang harus mampu berpartisipasi secara aktif dan dalam hal ini tugas sekolah untuk mengaturnya
e. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menguasai berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan tugasnya dan berusaha untuk mematuhinya.
f. Dalam kegiatan-kegiatan kelompok itulah setiap anggota kelompok belajar menjadi disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah putus asa, hemat, terbuka, serta bertanggung jawab. Metode pelaksanaannya harus menjadi tugas sekolah untuk mengimplementasikannya.
Aktivitas pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan oleh hanya satu lembaga saja. Di sini diperlukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya, khususnya mereka yang memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat desa. Karena masyarakat desa umumnya terkebelakang, miskin, jumlahnya besar serta tidak memiliki mata pencaharian.
Kerjasama ini dapat dilakukan antara lain dengan :
a. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
b. Lembaga Swadaya Masyarakat,
c. Tokoh Masyarakat,
d. Tokoh Pendidikan,
e. Tokoh Agama,
f. Lembaga Lingkungan Hidup,
g. Kamar Dagang dan Industri,
h. Para kepala Desa dari masyarakat yang bersangkutan,
i. Lembaga Bantuan Hukum dan lain-lainnya.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat terlepas dari kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, erbedaan antara negara miskin dengan negara maju tidak tergantung pada :
a. Usia suatu negara,
b. Ketersediaan Sumber Daya Alam,
c. Ras atau warna kulit, akan tetapi tergantung pada sikap/perilaku masyarakat yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat melalui :
a. Melakukan pemberdayaan masyarakat melalui praktikum pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
b. Mengadakan pendekatan yang mengintegrasikan aspek pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama serta keterpaduan dalam implementasinya, serta
c. Melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat desa.
Terdapat sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Bagaimana peran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menghadapi masalah tersebut. Untuk itu diperlukan suatu pemikiran dan langkah kongkrit menghadapi masalah besar tersebut melalui berbagai aktivitas yang dilakukan melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Istilah pemberdayaan (empower) menurut The New Lexicon Webster International Dictionary (1978 :322) berarti “ To authorize ; to warrant ; to license .-em . pow . er. – ment “. Pendapat tersebut mengandung tiga pengertian, pertama “to authorize”, yang berarti memberikan kekuasaan, kedua “to warrant” yang berarti memberikan wewenang, dan ketiga “to license” yang berarti memberikan lisensi atau memberikan izin. Dengan demikian pemberdayaan merupakan pemberian kekuasaan, wewenang serta izin dari satu pihak kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengertian yang sama disampaikan oleh Aileen Mitchell Stewart (1994 : 6-7) mengungkapkan bahwa : “ Pemberdayaan merupakan suatu cara praktis dan produktif untuk memperoleh hal-hal yang terbaik dari diri anda serta anggota lainnya. Pemberdayaan berlangsung melalui pembagian tugas guna menempatkan kekuatan nyata yang dapat digunakan secara lebih efektif. Hal tersebut berarti menyerahkan bukan hanya tugas, akan tetapi juga pembuatan keputusan serta tanggung jawab penuh”.
Selanjutnya penjelasan tentang Empower yang terdapat di Web Amerika (2007 : 1) Pemberdayaan berarti melengkapi setiap individu dan atau kelompok dengan berbagai ketrampilan, informasi, kekuasaan dan sumber-sumber yang disusun sedemikian rupa guna melaksanakan tanggung jawab mereka, yang dilakukan melalui suatu tim yang efektif.
Robert B. Maddux (Dalam Kristiyabudhi P. Hananto, 2001 : 9), mengemukakan bahwa tim yang efektif adalah : (1) Anggota menyadari ketergantungan diantara mereka, (2) Anggota tim ikut merasa memiliki pekerjaan dan organisasinya, (3) Anggota memiliki kontribusi terhadap keberhasilan organisasi, (4) Anggota bekerja dalam suasana saling percaya dan keterbukaan, (5) Anggota menjalankan komunikasi dengan tulus, (6) Anggota didorong untuk menambah ketrampilan dan menerapkannya dalam tim, (7) Mereka menyadari bahwa konflik dalam tim merupakan hal yang wajar untuk mengembangkan ide dan kreativitas, (8) Anggota berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi tim, walaupun keputusan tetap ditangan pemimpin apabila tim menemui jalan buntu.
Program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di berbagai negara sedang berkembang, khususnya Indonesia lebih banyak ditujukan kepada masyarakat miskin. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, sering terjadi bahwa program tersebut belum berhasil mencapai sasaran yang diharapkan yaitu adanya kemandirian masyarakat, baik dalam arti ekonomis, sosial, politis serta psikologis. Memang benar bahwa pemberdayaan masyarakat miskin merupakan suatu prioritas, namun haruslah disusun dalam suatu perencanaan program yang jelas. Selama ini program pemberdayaan sering digambarkan secara sempit sebagai pemberian dana bantuan atau kredit finansial kepada masyarakat miskin. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat selalu diarahkan kepada pengentasan kemiskinan.. Dalam hubungannya dengan masalah ini Michael Lipton (1977 : 38) memberikan kritik sebagai berikut : bahwa program pengentasan kemiskinan banyak dilaksanakan di daerah perkotaan sehingga kemiskinan di pedesaan tidak berkurang, dan hal ini tidak adil dan tidak efisien.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa situasi seperti itu oleh Lipton disebut sebagai ‘urban bias’ atau bias perkotaan, dan pengentasan kemiskinan dianggap menghadapi kegagalan.
Mengantisipasi masalah kemiskinan, pemerintah Indonesia dewasa ini (Harian Pikiran Rakyat, 5 Juli 2007 : 10) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan “Program Keluarga Harapan” (PKH) sebagai program pengganti “Santunan Langsung Tunai” (SLT) pada bulan Juli 2007. Berbeda dengan Santunan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan lebih difokuskan kepada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan. Secara finansial, setiap rumah tangga sangat miskin (RTSM) akan menerima bantuan setiap tahunnya Rp. 600.000.- hingga Rp. 2.200.000.- yang diberikan per tiga bulan. Tahap awal, dilakukan uji coba di tujuh provinsi termasuk Jawa Barat dengan alokasi anggaran empat triliun rupiah. Anggaran disiapkan dalam APBN Perubahan 2007. Daerah sasaran untuk uji coba Program Keluarga Harapan di Jawa Barat, antara lain : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Kriteria penerima bantuan adalah rumah tangga miskin kronis, rentan terhadap guncangan, dan ‘transitory poverty’ . Calon penerima bantuan harus memenuhi persyaratan peningkatan sumber daya manusia, misalnya penerima bantuan harus menyekolahkan, memeriksakan kesehatan ke puskesmas dan atau memerhatikan kecukupan gizi anak dan lain-lain.
Robert Chambers (1983 : 113-114) mengungkapkan bahwa Pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik dan atau kalori masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment). Selanjutnya Chambers menyatakan pula bahwa kemiskinan merupakan suatu kompleksitas dari hubungan sebab akibat yang saling berkaitan antara ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weaknesess), kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation). Saling keterkaitan inilah yang disebut sebagai konsep perangkap deprivasi (concept ofdeprivation trap), dimana ketidakberdayaan akan membatasi akses terhadap sumber daya negara, mempersempit keadilan hukum bagi penyelewengan (abuses), menyebabkan hilangnya kekuatan tawar menawar (bargaining power) , membuat rakyat semakin rapuh terhadap permintaan mendadak untuk pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu persengkataan.
Oleh karena itu, Chambers mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat adalah melalui “ suatu proses pemberdayaan dengan memberikan kesempatan/wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui “terobosan pertukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengalihan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut.
Sekolah-sekolah dewasa ini memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar untuk membantu masyarakat. Salah satu aktivitas yang dilakukan guru dan siswa adalah melakukan praktikum pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui metode Portofolio, dan biasanya dilakukan di masyarakat. Dalam praktikum tersebut dipersiapkan perencanaan yang matang, agar dapat diciptakannya suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Potensi dari setiap sekolah tersebut dapat dikembangkan , sehingga terdapat keterpaduan program perencanaan yang terintegrasi yang dibina oleh Kepala Sekolah. Dalam kegiatan-kegiatan ini diperlukan adanya keterbukaan, baik dalam hal informasi, sumber dana, maupun pengelolaannya sehingga baik guru, siswa maupun masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan ikut bertanggung jawab secara bersama dan menikmati hasilnya bersama.
Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini di kalangan para ilmuwan, termasuk di lingkungan pendidikan terdapat adanya kecenderungan yang kuat akan kebutuhan diterapkannya pendekatan interdisipliner dalam membahas suatu permasalahan (interdisciplinary approach). Sebab-sebab dari timbulnya gerakan tersebut, diantaranya karena spesialisasi studi salah satu disiplin seringkali melepaskan diri dari permasalahan sosial kemasyarakatan yang biasanya dihadapi sehari-hari oleh para siswa, maupun permasalahan umum yang menyangkut kepentingan umum.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, diperlukan adanya keterpaduan yang mengintegrasikan aspek pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dalam implementasinya.
Sebagaimana dibahas di atas, bahwa pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan kepada memiliki sikap : disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah putus asa, hemat, keterbukaan serta tanggung jawab. Berbagai komponen tersebut berkaitan langsung dengan tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk mendalami dan mengimplementasikannya.
Sikap-sikap tersebut dapat dikembangkan melalui pendekatan yang terintegrasi yang sudah direncanakan sedemikian rupa, kemudian dicoba dilaksanakan dengan cara :
a. Menelaah kembali tujuan pendidikan nasional, dalam hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang : (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan (3) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,
b. Anggota masyarakat diorganisir secara berkelompok sesuai dengan minat dan bakatnya serta aktivitasnya masing-masing.
c. Setiap orang harus mampu mengatur dirinya sendiri dan mampu bekerja dalam kelompok.
d. Setiap orang harus mampu berpartisipasi secara aktif dan dalam hal ini tugas sekolah untuk mengaturnya
e. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menguasai berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan tugasnya dan berusaha untuk mematuhinya.
f. Dalam kegiatan-kegiatan kelompok itulah setiap anggota kelompok belajar menjadi disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah putus asa, hemat, terbuka, serta bertanggung jawab. Metode pelaksanaannya harus menjadi tugas sekolah untuk mengimplementasikannya.
Aktivitas pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan oleh hanya satu lembaga saja. Di sini diperlukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya, khususnya mereka yang memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat desa. Karena masyarakat desa umumnya terkebelakang, miskin, jumlahnya besar serta tidak memiliki mata pencaharian.
Kerjasama ini dapat dilakukan antara lain dengan :
a. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
b. Lembaga Swadaya Masyarakat,
c. Tokoh Masyarakat,
d. Tokoh Pendidikan,
e. Tokoh Agama,
f. Lembaga Lingkungan Hidup,
g. Kamar Dagang dan Industri,
h. Para kepala Desa dari masyarakat yang bersangkutan,
i. Lembaga Bantuan Hukum dan lain-lainnya.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat terlepas dari kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, erbedaan antara negara miskin dengan negara maju tidak tergantung pada :
a. Usia suatu negara,
b. Ketersediaan Sumber Daya Alam,
c. Ras atau warna kulit, akan tetapi tergantung pada sikap/perilaku masyarakat yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat melalui :
a. Melakukan pemberdayaan masyarakat melalui praktikum pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
b. Mengadakan pendekatan yang mengintegrasikan aspek pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama serta keterpaduan dalam implementasinya, serta
c. Melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat desa.
0 komentar:
Posting Komentar