Dalam
era globalisasi, supremasi negara-negara Barat terus dikembangkan
lewat bendera hak-hak asasi manusia, ekonomi pasar bebas, demokratisasi,
dan lingkungan hidup, yang merupakan unsur-unsur kekuatan globalisasi
saat ini.
Globalisasi memang memiliki unsur-unsur positifnya, tetapi banyak tantangannya.Dorongan nafsu ekonomi dan keserakahan materiil terus mendorong berkembangnya otoritas ekonomi melalui jalan damai atau pemaksaan sekalipun yang dikemas dengan legalitas dan hukum yang berlaku. Mereka mampu berbuat apa saja karena ampuhnya sikap dan kepercayaan “knowledge as power”. Seperti dikemukakan ahli filsafat Inggris, Francis Bacon, adagium “knowledge as power” dan “intellectus quaerensfidem”, terutama setelah Rennaissance, telah mengakibatkan bangunnya supremasi negara-negara Barat dalam kebudayaan materiil.
Menanggapi hal ini, Alfin Toffler (1990) memperkirakan bahwa dalam seratus tahun mendatang, “knowledge as power” akan tetap berjaya dalam suasana masih akan maraknya kemiskinan dan kekerasan.
Oleh sebab itu, para humanis dan masyarakat yang ada di bawah garis kemiskinan sudah lama menggugat relevansi “cultural heritage” (warisan budaya) yang memuat cita-cita leluhur bangsanya, karena terlalu banyak terjadi ekses-ekses dari individualisme dan komunalisme dalam keadilan dan kemakmuran. Celakanya, hasil dari seluruh kehidupannya itu telah diatur dengan serangkaian peraturan yang berlaku. Dengan demikian, supremasi hukum dan “rule of law” menjadi benteng kehidupan masyarakat pada umumnya, walaupun dengan mengorbankan unsur etis sebagai unsur keadilan dan kemakmuran.
Bagi bangsa Indonesia, kita bersyukur karena telah memiliki landasan dan cita-cita luhur yang tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang secara ideologis dan konseptual telah mengoreksi kelemahan pelaksanaan “warisan budaya” negara-negara Barat maupun negara-negara sosialis-komunis.
Hasil-hasil pembangunan nasional selama ini mengarah kepada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Namun demikian yang harus diwaspadai oleh seluruh bangsa Indonesia adalah penyimpangan terhadap “warisan budaya” seperti terjadi di negara lain. Oleh karena itu, upaya demokratisasi yang dilakukan selama ini hendaknya tidak menyimpang dari cita-cita luhur tersebut.
Dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penyempurnaan Sistem Pemilihan Umum, gagasan bahwa Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian R.I bersifat netral, perluasan Otonomi Daerah, keterbukaan, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan langkah-langkah untuk meningkatkan upaya demokratisasi, agar masyarakat luas dan lembaga politik, ekonomi, sosial budaya semakin berkesempatan dan berani mengemukakan pendapat terhadap jalannya pembangunan dan berbagai maslah yang dihadapi.
Melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, para siswa diberikan berbagai kemampuan, yang salah satunya adalah ketrampilan (skills). Yang dimaksud dengan skills di sini adalah seperangkat jenis-jenis ketrampilan dan dimensi berpikir serta ketrampilan social dan berkomunikasi yang terdiri atas lima tingkat, (Duffty,D.G., 1987 :39-51), yaitu :
a. Menafsirkan,
b. Menerapkan,
c. Menganalisis,
d. Mensintesiskan,
e. Mengevaluasi.
Keterampilan dalam dimensi lain (John Dewey, 1932), termasuk ketrampilan :
a. Mengajukan pertanyaan dan merumuskan masalah,
b. Merumuskan hipotesis,
c. Mengumpulkan data,
d. Menafsirkan dan menganalisis,
e. Mengoreksi dan menguji hipotesis,
f. Merumuskan generalisasi,
g. Mengkomunikasikan kesimpulan
Globalisasi memang memiliki unsur-unsur positifnya, tetapi banyak tantangannya.Dorongan nafsu ekonomi dan keserakahan materiil terus mendorong berkembangnya otoritas ekonomi melalui jalan damai atau pemaksaan sekalipun yang dikemas dengan legalitas dan hukum yang berlaku. Mereka mampu berbuat apa saja karena ampuhnya sikap dan kepercayaan “knowledge as power”. Seperti dikemukakan ahli filsafat Inggris, Francis Bacon, adagium “knowledge as power” dan “intellectus quaerensfidem”, terutama setelah Rennaissance, telah mengakibatkan bangunnya supremasi negara-negara Barat dalam kebudayaan materiil.
Menanggapi hal ini, Alfin Toffler (1990) memperkirakan bahwa dalam seratus tahun mendatang, “knowledge as power” akan tetap berjaya dalam suasana masih akan maraknya kemiskinan dan kekerasan.
Oleh sebab itu, para humanis dan masyarakat yang ada di bawah garis kemiskinan sudah lama menggugat relevansi “cultural heritage” (warisan budaya) yang memuat cita-cita leluhur bangsanya, karena terlalu banyak terjadi ekses-ekses dari individualisme dan komunalisme dalam keadilan dan kemakmuran. Celakanya, hasil dari seluruh kehidupannya itu telah diatur dengan serangkaian peraturan yang berlaku. Dengan demikian, supremasi hukum dan “rule of law” menjadi benteng kehidupan masyarakat pada umumnya, walaupun dengan mengorbankan unsur etis sebagai unsur keadilan dan kemakmuran.
Bagi bangsa Indonesia, kita bersyukur karena telah memiliki landasan dan cita-cita luhur yang tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang secara ideologis dan konseptual telah mengoreksi kelemahan pelaksanaan “warisan budaya” negara-negara Barat maupun negara-negara sosialis-komunis.
Hasil-hasil pembangunan nasional selama ini mengarah kepada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Namun demikian yang harus diwaspadai oleh seluruh bangsa Indonesia adalah penyimpangan terhadap “warisan budaya” seperti terjadi di negara lain. Oleh karena itu, upaya demokratisasi yang dilakukan selama ini hendaknya tidak menyimpang dari cita-cita luhur tersebut.
Dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penyempurnaan Sistem Pemilihan Umum, gagasan bahwa Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian R.I bersifat netral, perluasan Otonomi Daerah, keterbukaan, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan langkah-langkah untuk meningkatkan upaya demokratisasi, agar masyarakat luas dan lembaga politik, ekonomi, sosial budaya semakin berkesempatan dan berani mengemukakan pendapat terhadap jalannya pembangunan dan berbagai maslah yang dihadapi.
Melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, para siswa diberikan berbagai kemampuan, yang salah satunya adalah ketrampilan (skills). Yang dimaksud dengan skills di sini adalah seperangkat jenis-jenis ketrampilan dan dimensi berpikir serta ketrampilan social dan berkomunikasi yang terdiri atas lima tingkat, (Duffty,D.G., 1987 :39-51), yaitu :
a. Menafsirkan,
b. Menerapkan,
c. Menganalisis,
d. Mensintesiskan,
e. Mengevaluasi.
Keterampilan dalam dimensi lain (John Dewey, 1932), termasuk ketrampilan :
a. Mengajukan pertanyaan dan merumuskan masalah,
b. Merumuskan hipotesis,
c. Mengumpulkan data,
d. Menafsirkan dan menganalisis,
e. Mengoreksi dan menguji hipotesis,
f. Merumuskan generalisasi,
g. Mengkomunikasikan kesimpulan
Termasuk
dalam mengembangkan ketrampilan ini adalah masalah jenis dan dimensi
serta potensi berpikir siswa mulai dari jenis dan mutu berpikir yang
paling sederhana sampai berpikir yang cukup mendalam.
Begitu kompleksnya jenis-jenis berpikir dalam proses pendidikan kewarganegaraan membuat para ahli pendidikan dan guru pada umumnya kurang begitu tekun memahami, apalagi melaksanakannya dalam tugasnya sehari-hari, sebab hal tersebut memerlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan ini dihadapkan pula kepada masalah perbedaan individual siswa dalam kelas pendidikan Kewarganegaraan sebagai laboratorium demokrasi. Biasanya kelompok siswa dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : (1) kelompok yang mempunyai sifat seperti “batu” (stone citizen), (2) Kelompok “busa” (sponge citizen), dan (3) Kelompok generator (generator citizen).
Kelompok “batu” adalah siswa yang dihinggapi dengan sifat belajar pasif, yang sangat sukar sekali untuk menerima dan terlibat dalam proses berpikir, apalagi tergerak untuk berkomunikasi.
Kelompok “busa”, adalah mereka yang agak mirip dengan kelompok “batu”, tetapi mereka masih mau menerima masukan dari efektor. Apa yang dicita-citakan dan dituntut oleh masyarakat demokratis adalah tumbuhnya kelompok “generator citizen” yang memiliki sifat mau menerima bahan pendidikan dan terampil berprakarsa serta berkeinginan untuk berperanserta dalam kehidupan sosial. Dia menyenagi kehidupan antar pribadi bahkan “inter personal conflict” pun dilakukannya, sebab hubungan tersebut dapat menambah meningkatnya kesehatan mental (mental hygiene) siswa dan masyarakat umumnya.
Siswa yang kelihatannya pendiam dan menunjukkan belajar secara pasif, yang memilih konflik dengan dirinya sendiri (intra personal conflict) justru akan menghadapi memburuknya kesehatan mental. Akibatnya upaya demokratisasi dalam rangka menghadapi globalisasi akan terganggu.
Dengan adanya kemauan pribadi siswa, mereka akan belajar untuk disiplin, terbuka, hemat, bekerja keras, tidak mudah putus asa, bertanggung jawab, jujur, sebagai kunci sukses dalam kehidupan di era globalisasi.
Begitu kompleksnya jenis-jenis berpikir dalam proses pendidikan kewarganegaraan membuat para ahli pendidikan dan guru pada umumnya kurang begitu tekun memahami, apalagi melaksanakannya dalam tugasnya sehari-hari, sebab hal tersebut memerlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan ini dihadapkan pula kepada masalah perbedaan individual siswa dalam kelas pendidikan Kewarganegaraan sebagai laboratorium demokrasi. Biasanya kelompok siswa dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : (1) kelompok yang mempunyai sifat seperti “batu” (stone citizen), (2) Kelompok “busa” (sponge citizen), dan (3) Kelompok generator (generator citizen).
Kelompok “batu” adalah siswa yang dihinggapi dengan sifat belajar pasif, yang sangat sukar sekali untuk menerima dan terlibat dalam proses berpikir, apalagi tergerak untuk berkomunikasi.
Kelompok “busa”, adalah mereka yang agak mirip dengan kelompok “batu”, tetapi mereka masih mau menerima masukan dari efektor. Apa yang dicita-citakan dan dituntut oleh masyarakat demokratis adalah tumbuhnya kelompok “generator citizen” yang memiliki sifat mau menerima bahan pendidikan dan terampil berprakarsa serta berkeinginan untuk berperanserta dalam kehidupan sosial. Dia menyenagi kehidupan antar pribadi bahkan “inter personal conflict” pun dilakukannya, sebab hubungan tersebut dapat menambah meningkatnya kesehatan mental (mental hygiene) siswa dan masyarakat umumnya.
Siswa yang kelihatannya pendiam dan menunjukkan belajar secara pasif, yang memilih konflik dengan dirinya sendiri (intra personal conflict) justru akan menghadapi memburuknya kesehatan mental. Akibatnya upaya demokratisasi dalam rangka menghadapi globalisasi akan terganggu.
Dengan adanya kemauan pribadi siswa, mereka akan belajar untuk disiplin, terbuka, hemat, bekerja keras, tidak mudah putus asa, bertanggung jawab, jujur, sebagai kunci sukses dalam kehidupan di era globalisasi.
0 komentar:
Posting Komentar