Stratifikasi Sosial Masyarakat Perladangan Berpindah | Biasa Membaca -->

Stratifikasi Sosial Masyarakat Perladangan Berpindah

Perladangan berpindah (shifting cultivation) disebut juga hortikultura sederhana. Kehidupan masyarakat perladangan berpindah merupakan kelanjutan dari kehidupan berburu dan meramu. Mereka secara khusus tidak lagi melakukan hasil perburuan untuk dijadikan bahan makanan utama, melainkan berternak binatang sebagai tambahan dari usaha perladangan. Tumbuhan yang dijadikan tanaman pertanian khususnya di Indonesia adalah padi, umbi-umbian, jagung dan tanaman lain yang dijadikan tambahan seperti buah-buahan, palawija dan sebagainya. Perladangan dilakukan dengan cara sistem tebas bakar (slash and burn agriculture atau swidden agriculture). Hasil panen umumnya tidak untuk dijual melainkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sedangkan pendapatan masyarakat berasal dari hasil usaha lain, seperti, hasil menjual buah-buahan, kerajinan dan hasil hutan.

Masyarakat perladangan berpindah kita sebut saja masyarakat holtikultur sederhana. Mereka sudah mengembangkan hidup menetap, tidak seperti masyarakat pemburu dan peramu yang selalu berpindah-pindah tempat serta tergantung pada binatang dan pada tanaman liar yang mereka jumpai di hutan atau di sekitar tempat tinggal mereka. Masyarakat hortikultur sederhana memiliki pemukiman atau perkampungan yang umumnya berada di pinggir hutan lebat atau di sabana (padang rumput dengan beberapa pohon). Perpindahan tempat yang mereka lakukan terbatas pada lahan pertaniannya saja. Hal itu karena tergantung pada kesuburan tanah yang terus menurun apabila penanaman dilakukan pada lahan yang sama lebih dari satu kali panen. Apabila kesuburan tanah berkurang mereka akan mencari lahan baru, dan kembali membuka ladang pada lahan yang telah ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama sekitar 20 - 30 tahun.

Stratifikasi Sosial Masyarakat Perladangan Berpindah


Teknik perladangan berpindah memerlukan beberapa tahapan, yang merupakan rotasi penanaman. Tahapannya adalah seperti berikut :

1) Mencari hutan primer, sekunder, atau sabana yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Daerah ini Kemudian dibersihkan dengan cara menebang pohon dan membakarnya. Pengolahan tanah tidak dilakukan dengan mencangkul atau membalikan tanah agar gembur, tetapi menggunakan tugal (sepotong kayu yang ujungnya diruncingkan);

2) Lahan yang sudah bersih ditanami satu sampai tiga kali masa tanam (1 - 2 tahun). Penanaman tidak menggunakan pupuk, tetapi mengandalkan abu sisa pembakaran sebagai penyubur tanaman;

3) Bekas ladang dibiarkan dalam jangka waktu lama (10 - 15 tahun, bahkan ada yang sampai 20 - 30 tahun) untuk mengembalikan kesuburannya dan ladang menjadi hutan kembali (hutan sekunder);

4) Hutan sekunder yang telah lama ditinggalkan dibuka kembali untuk dijadikan ladang.

Teknik perladangan memerlukan pengerahan tenaga kerja dalam keluarga. Setiap anggota keluarga memiliki tugas khusus, yaitu :

1) Laki-laki dewasa bertugas,
· mencari lahan yang siap untuk dijadikan ladang, 
· menebang hutan dan membakar sisa penebangan,
· membuat lubang-lubang untuk menempatkan biji atau bakal tanaman,
· melakukan panen, 
· mengangkut hasil panen ke tempat penyimpanan;

2) Wanita dewasa bertugas,
· membantu membersihkan sisa penebangan dan mengumpulkannya agar siap untuk dibakar, 
· membersihkan ladang yang siap ditanami, 
· menempatkan biji atau bakal tanaman pada tanah yang sudah dilubangi,
· pada saat tanaman tumbuh maka wanita melakukan pembersihan rumput yang tumbuh bersama dengan tanaman ladang, 
· melakukan panen bersama-sama laki-laki;

3) Anak laki-laki turut membantu ayahnya dengan pekerjaan yang lebih ringan;

4) Anak perempuan turut membantu ibunya dengan melakukan pekerjaan yang lebih ringan.

Pada masyarakat hortikultur sederhana atau perladangan berpindah pelu-ang terciptanya ketidakssamaan sosial lebih banyak dibandingkan pada masyara-kat pemburu dan peramu. Adanya ketidaksamaan dalam masyarakat hortikultur sederhana juga sebagai pemacu untuk meningkatkan prestise. Misalnya dengan:

1) Berupa banyaknya hasil panen yang dicapai, karena hasil panen bagi mereka merupakan lambang kekayaan;

2) Kemeriahan pesta pernikahan atau khitanan (bagi orang Islam) setelah selesai panen;

3) Luasnya lahan yang akan dijadikan ladang, karena lahan dianggap sebagai milik keluarga atau pribadi;

4) Banyaknya jumlah tempat penyimpanan hasil panen (lumbung) yang dimiliki. Padi disimpan dari tahun ke tahun dan digunakan apabila ada kejadian yang dianggap luar biasa, seperti pernikahan atau khitanan.

Adanya prestise di masyarakat hortikultur sederhana menyebabkan munculnya status-status sosial. Akibatnya setiap warga masyarakat berusaha untuk meningkatkan prestise tersebut. Yaitu dengan jalan kerja keras untuk mendapatkan hasil panen yang banyak. Apabila mereka melakukan pesta, maka diselenggarakan semeriah mungkin, sehingga warga masyarakat mengaguminya dan menjadikannya sebagai orang terpandang. Menjadi orang terpandang dan dihormati karena kekayaannya tidak terjadi secara otomatis turun-temurun, melainkan dengan usaha dan kerja keras. Perlu juga diperhatikan bahwa ukuran kekayaan tidak selamanya menjadikan seseorang memiliki kedudukan tinggi, tanpa disertai kedermawanan terhadap orang lain yang membutuhkan. 

Bagi masyarakat hortikultur sederhana, adanya ukuran kekayaan, kemeriahan pesta yang diselenggarakan, dan kedermawanan merupakan ciri adanya ketidaksamaan sosial. Walaupun stratifikasi sosial secara jelas belum muncul, tetapi masyarakat mengenal adanya tingkatan-tingkatan sosial yang disebut masyarakat bertingkat atau ranked societies. Tingkatan sosial yang ada di masyarakat, yaitu status (kedudukan) yang tinggi pada tahap yang terbatas. Tidak semua anggota masyarakat dapat mencapai kedudukan tinggi secara bersamaan. Hal itu tergantung kepada usaha anggota masyarakat untuk mencapainya.

Masyarakat hortikultur sederhana tidak mempunyai tingkat stratifikasi sosial yang jelas. Masyarakat ini sebagai contoh dari bentuk masyarakat bertingkat. Dalam masyarakat juga ini hanya terdapat beberapa orang saja yang mendapat kedudukan tinggi. Kedudukan diperoleh seseorang tidak secara turun temurun, melainkan dengan cara persaingan (kompetisi). Pemimpin masyarakat atau yang penguasa akan memiliki prestise paling tinggi. Walaupun begitu, hal tersebut bukan merupakan suatu kekuasaan dan hak istimewa yang berlebihan.

Stratifikasi Sosial Masyarakat Perladangan Berpindah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com