Ada
salah satu pertanyaaan yang patut kita renungkan “apakah agama berperan
dalam pembangunan kita?’ disatu pihak agama hadir dalam sosok yang
jelas, dan hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan,
sekolah-sekolah sebagai upaya mencerdaskan bangsa, lembaga-lembaga
tersebut didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan, bahkan di
samping itu para tokoh agama terlibat sekaligus sebagai pendidik,
pemikir, pakar ilmu dan mencetak generasi muda untuk memiliki motif
keagamaan yang tinggi.
Kondisi ini mendeskripsikan bahwa
sosok agama sangat dirasakan sebagai titik strategis, oleh berbagai
pihak yang terkibat dalam pembangunan. Akan tetapi peranan seperti itu
sebenarnya bersifat superficial, atau tampak dipermukaan saja, kalau
memang agama berperan cukup mendalam, mengapa arah, wawasan dan
moralitas bangsa kita dirasakan belum menyerap nilai-nilai keagamaan
secara komprehensif tidak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai keagamaan
ini mengalami degradasi di era pembangunan ‘reformasi’ ini. Pola hidup
komsumtif dalam agama manapun mendapat kritikan tegas, seperti dalam
perilak para politisi korup serta penyimpangan-penyimpangan perilaku
lainnya.
Orang kebanyakan berasumsi bahwa padatnya mesjid,
gereja,pura dan sarana peribadatan lainnya yang diiringi semaraknya
ritual-ritual keagamaan merasa bahwa tugas keagamaan telah dianggap
selesai. Sehingga dalam tataran konsep ibadah pun menjadi sempit, karena
ibadah hanya dimaknai sekedar aktualisasi ritual-ritual keagamaan yang
menjadi inti kehidupan agama, hal inilah yang membuat hilangnya kepekaan
sosial.Maka semakin menipis ras kepekaan sosial sebagai anggapan bahwa
terlalu dipengauhi oleh sikap keberagamanan yang bersifat kontemplatif,
sementara nilai reflektif keberagamaan sesorang kian menghilang.
Ada
agenda-agenda kemanusiaan yang dianggap besar yang kadang dilupakan
oleh manusia disibukkan dengan ritual-ritual keagamaan, seperti
kesejangan sosial, kaum miskin (the haven’t) yang terpinggirkan oleh
kaum kaya (the have), terjadinya penjajahan yang tersembunyi (hidden
enemy) melalui berbagai media informasi, dan media cetak lainnya. Dalam
hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa agama sebagi
“candu” bagi masyarak (religion is an opium of people).
Dengan
demikian, secara ideal bahwa nilai-nilai religius bukan hanya
diimplementasikan pada ritual keagaan semata, akan tetapi nilai-nilai
religius ini harus diimplementasikan dalam berbagai sendi kehidupan yang
harus mewarnai gerak langkah manusia dalam melakukan aktivitasnya.
Bila
nilai kehidupan dihubungkan dengan perkembangan iptek yang amat pesat,
benar-benar telah mengubah tatanan hidup yang serba mudah dan
nyaman.Namun dibalik perubahan tatanan hidup yang serba mudah dan
nyaman.Namun dibalik perubahan tatanan kehidupan yang bersifat materil
itu sering melahirkan konflik nilai yang berkepanjangan.Konflik nilai
terjadi terjadi dalam beragam jenis dan kompleksitasnya.Konflik nilai
terjadi sebagai akibat adanya perubahan perilaku manusia yang terkadang
bertolak belakang dengan nilai-nilai kehidupan yang semestinya menjadi
rujukan kebajikan manusia.
Tidak sedikit manusia menapaki kehidupannya dengan berusaha mengejar kesenangan materi dan kepuasan lahiriah.Dalam kondisi itu maka nilai bergerak mengikuti riak perubahan. Terkadang perubahan kehidupan.dan pergeseran nilai itu terjadi jauh melampaui dugaan normal manusia, sehingga akhirnya, menyeret manusia pada situasi, yang dalam istilah David Peat yang diungkapkan oleh Rohmat Mulyana (2004) dalam bukunya Mengartikulasikan pendidikan nilai (2004) sebagai Chaos and complexity. Dalam situasi seperti itu manusia dihadapkan pada persoalan rumit yang menuntut dirinya untuk segera menentukan identitas dirinya dan menetapkan posisinya sebagai manusia yang berbudaya dan berkesadaran agama.
Tidak sedikit manusia menapaki kehidupannya dengan berusaha mengejar kesenangan materi dan kepuasan lahiriah.Dalam kondisi itu maka nilai bergerak mengikuti riak perubahan. Terkadang perubahan kehidupan.dan pergeseran nilai itu terjadi jauh melampaui dugaan normal manusia, sehingga akhirnya, menyeret manusia pada situasi, yang dalam istilah David Peat yang diungkapkan oleh Rohmat Mulyana (2004) dalam bukunya Mengartikulasikan pendidikan nilai (2004) sebagai Chaos and complexity. Dalam situasi seperti itu manusia dihadapkan pada persoalan rumit yang menuntut dirinya untuk segera menentukan identitas dirinya dan menetapkan posisinya sebagai manusia yang berbudaya dan berkesadaran agama.
0 komentar:
Posting Komentar