Penjelasan Mengenai Apa Yang Dimaksud Dengan Sosiologi Klasik | Biasa Membaca -->

Penjelasan Mengenai Apa Yang Dimaksud Dengan Sosiologi Klasik

Sosiologi adalah cabang dari ilmu pengetahuan sosial yang usianya relatif masih muda walaupun pada kenyataannya sosiologi telah banyak mengalami perkembangan. Yang menarik perhatian adalah bagaimana awal muawalnya ilmu itu berkembang. Pada mulanya banyak orang meninjau masyarakat terutama pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja seperti perang, kejahatan, kekuasaan golongan dari pihak-pihak yang berkuasa seperti pemerintah atau raja, gejala-gejala keagamaan dan sebagainya. Dari pemikiran tersebut para pemerhati ilmu sosial mengembangkan pengetahuannya ke dalam bentuk filsafat kemasyarakatan yang di dalamnya menguraikan tentang harapan-harapan tentang susunan serta kehidupan masyarakat yang dinginkan atau yang dianggap ideal. 

Penjelasan Mengenai Apa Yang Dimaksud Dengan Sosiologi Klasik

Berangkat dari harapan kehidupan masyarakat yang ideal tersebut muncullah perumusan tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati oleh setiap manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam suatu kehidupan manusia. Nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang dimaksudkan tersebut adalah suatu penciptaan kehidupan manusia yang penuh kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dalam tatanan kehidupan sosial. Akan tetapi harapan demi harapan tersebut tidak selamanya dapat dicapai atau direalisasikan dalam kehidupan yang sesungguhnya sehingga timbullah antara harapan dan kenyataan. Untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut maka para ilmuan perlu menciptakan teori-teori untuk dikembangkan secara sistematis dan bersifat obyektif (netral) yang terlepas dari harapan-harapan pribadi yang mempelajarinya terutama tentang penilaian baik dan buruk tentang suatu kenyataan yang ada. 

Pada jaman dahulu semua ilmu pengetahuan itu bersumber dari filsafat, sehingga ilmu pengetahuan yang dikenal pada saat ini pernah menjadi bagian dari filsafat. Dengan demikian filsafat dapat dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan (master sciantiarum). Akan tetapi filsafat lebih bersifat subyektif karena filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang hanya bersandar pada aspek pemikiran manusia sehingga skala keilmiahannya masih sangat kecil. Sedangkan syarat ilmu pengetahuan itu sendiri harus bersandarkan pada bukti-bukti yang bersifat faktual artinya harus mendasarkan pada kenyataan yang ada yang dapat dilihat, diraba, didengar dan dirasakan. Perkembangan selanjutnya akhirnya antara ilmu pengetahuan dan filsafat saling memisahkan diri dan memiliki perkembangan masing-masing. 

Pemisahan itu disandarkan pada filsafat bersumberkan pada aspek pemikiran manusia yang tentu saja pemikiran itu sendiri kebenarannya bersandarkan pada tingkat pengetahuan dan wawasan pemikirnya bukan pada fakta yang ada, sedangkan ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang ilmiah maka ia harus terlepas dari pengaruh campur tangan manusia, sebab dalam ilmu pengetahuan poros dari segala kebenaran itu tetap mengacu pada obyek atau fakta dari realitas yang dapat dilihat, didengar, diraba dan dirasakan tadi. Di abad 19, ilmu pengetahuan yang baru muncul adalah ilmu Psikologi (ilmu pengetahuan yang membahas manusia dari aspek kejiawaan yang berupa sifat-sifat dan perilakunya). Psikologi, fisika, biologi, sosiologi pada mulanya adalah filsafat yang kemudian berkembang menjadi ilmu pengatahuan. 

Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan antara manusia satu dengan lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya berasal dari berbagai pemikiran tentang masyarakat. Pertama kali sosiologi berkembang di benua Eropa sebagai akibat adanya revolusi Perancis dan revolusi industri di Inggris. Sebelum bergulirnya revolusi, masyarakat Eropa berada dalam pola-pola kehidupan tradisional yang diwarnai oleh sistem sosial yang feodalistik. Masyarakat feodal selalu ditandai oleh beberapa indikator diantaranya adalah; 

1. Ketergantungan kehidupannya pada sektor pertanian dan perkebunan (agraris), 

2. Ukuran kelas sosial selalu didasarkan pada faktor kepemilikan tanah, sehingga orang-orang yang memiliki tanah yang luas atau tuan tanah menempati kelas sosial atas, 

3. Pembedaan status sosial kemasyarakatan dengan gelar-gelar kebangsawanan seperti raden (di jawa), sir (di inggris) dan sebagainya 

4. Pola-pola hubungan perekonomian lebih banyak didominansi oleh pola-pola hubungan antara tuan tanah dan buruh tani, petani penggarap dan penyewa tanah pertanian. Dalam sistem feodalisme oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai pola-pola kehidupan yang didominansi oleh berbagai macam ketidakadilan terutama dalam pola-pola pembagian aset kepemilikan dan hasil pertanian. Selain itu Perancis sebagai salah satu negara monarkhi (kerajaan) di Eropa menerapkan sistem pemerintahan yang totaliter (sewenang-wenang), yang oleh sebagian besar masyarakat Eropa kedua bentuk sistem baik sistem feodalime dan sistem pemerintahan totaliter dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. 

Dengan demikian revolusi industri diharapkan akan mengubah pola-pola kehidupan dari pola-pola tradisional ke pola-pola yang modern, dari sistem pemerintahan yang sewenang-wenang diharapkan menjadi sistem pemerintahan yang adil dengan indikator adanya pengakuan atas persamaan hak-hak dan kewajiban sebagai sama-sama warga negara yang lazim disebut dengan istilah sistem pemerintahan yang demokratis. Revolusi diharapkan menghasilkan suatu tatanan sosial yang penuh keadilan, keterbukaan, persamaan, kebebasan. Akan tetapi pada kenyataannya menjadi lain sesudah revolusi sosial bergulir. Revolusi justru mengundang kekhawatiran dari banyak pihak, terutama kekhawatiran terjerumusnya kehidupan masyarakat ke pola-pola yang lebih buruk, yaitu anakhis. 

Kakhawatiran tersebut terwujud, dimana setelah bergulirnya revolusi Perancis keadaan yang semula dianggap buruk karena kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyatnya, kini keadaan sosial justru lebih buruk lagi sebab hancurnya sistem tatanan kepemerintahan di Perancis, keadaan sosial menjadi anarkhis. Sementara itu, revolusi industri yang diharapkan membawa dampak kemajuan dan keadilan sebagai akibat sistem feodalisme yang tradisional dan feodalistik tersebut justru berdampak ketidakadilan sosial yang lebih parah, yaitu timbulnya ketimpangan sosial yang tajam sebagai akibat dari revolusi industri tersebut. Kehidupan sosial yang semula terkotak-kotak dalam kelas-kelas sosial, justru revolusi industri tidak merubah kelas-kelas sosial menjadi keadaan yang lebih adil, tetapi justru kelas-kelas sosial semakin tumbuh dan semakin meraja lela. Kemiskinan sebagai akibat dominansi orang-orang kaya yang memiliki modal besar semakin membengkak di daerah tersebut, sementara kehidupan kaum pemilik modal yang bergelimangan kekayaan semakin meraja lela berdiri di atas penderitaan kaum buruh. 

Para pemilik modal menekan kaum buruh dengan upah kerja yang tidak sepadan dengan tenaga yang telah dikeluarkan, sehingga dapat dikatakan bahwa kemewahan kaum kapital (pemilik modal) tersebut tidak lain adalah cucuran keringat kaum buruh yang hidupnya semakin tertindas. Akibat dari sistem sosial seperti itu adalah konflik sosial yang jika konflik tersebut berkembang tentu akan menjadi revolusi jilid dua yang lebih mengerikan. Berangkat dari persoalan itulah para pemikir mulai mencari jawaban tentang persoalan tersebut, terutama menyangkut persoalan; mengapa kehidupan masyarakat berubah menjadi pola-pola kehidupan seperti itu. Ada apa di balik pola-pola kehidupan sosial tersebut, bagaimana mencari jalan keluar (solusi) untuk mengatasi persoalan tersebut dan bagaimana pula jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam setiap kali muncul perubahan sosial. Beberapa pemikir yang berusaha mencari jawaban dari persoalan tersebut secara ilmiah diantaranya adalah August Comtee. Comtee adalah orang yang pertama kali memberikan nama bagi ilmu yang mengkaji hubungan sosial kemasyarakatan tersebut dengan istilah sosiologi. Untuk uraian yang lebih rinci maka berikut ini akan diuraikan beberapa poin tentang sejarah pemikiran sosiologi. Diantaranya adalah sebagai berikut; 

A. August Comtee (1798-1857) 

Comtee adalah seorang berkebangsaan Perancis yang pertama kali memberikan nama sosiologi pada ilmu yang mengkaji hubungan sosial kemasyarakatan ini sehingga ia mendapat julukan Bapak Sosiologi. Comtee telah menulis beberapa buah buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Sebagian dari paparan ilmiahnya adalah bahwa ilmu sosiologi harus didasarkan pengamatan, perbandingan, eksperimen (percobaan), dan metode historis (kesejarahan). Ia berpendapat bahwa sosiologi harus didasarkan pada fakta-fakta yang obyektif (bukan harapan, bukan prediksi atau ramalan, bukan opini). Berdasarkan pendapat tersebut maka melalui sosiologi akan diperoleh kajian tentang masyarakat secara obyektif (berdasarkan kenyataan). Agar sosiologi bermanfaat maka kajian sosiologi harus pasti dan cermat, tidak boleh berdasarkan kepastian-kepastian. Sumbangan pemikirannya yang mendorong kemajuan perkembangan soisologi dikenal dengan istilah hukum kemajuan manusia atau hukum tiga tahap. Ia memaparkan bahwa gejala alam dan gejala sosial, manusia akan melewati tiga tahap, yaitu; 

1. Jenjang teologi; artinya segala sesuatu dijelaskan dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati (kodrat yang bersifat Illahiah), 

2. Jenjang metafisika; artinya di tahap ini manusia memahami sesuatu dengan mengacu pada kekuatan-kekuatan metafisik (hal-hal yang berada di luar kemampuan akal pikirannya) atau hal-hal yang bersifat abstrak. 

3. Jenjang positif, artinya gejala alam dan gejala sosial dijelaskan secara deskriptif ilmiah (jenjang ilmiah). 

Dalam hal ini Comtee mengatakan bahwa sosiologi menempati peringkat teratas di dalam tingkatan ilmu-ilmu sosial sebab sosiologi merupakan induk dari ilmu-ilmu sosial. Ia membagi sosiologi dalam dua kelompok besar yaitu, statika sosial yang mewakili stabilitas dan kemantapan, dan dinamika sosial yang mewakili perubahan. 

B. Karl Marx (1818-1883)

Latar belakang pemikiran Karl Marx adalah eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum pemiliki modal atau para pengusaha (kapitalis) yang disebut borjuis terhadap para buruh atau pekerja (proletar). Mekanisme kerja dalam suatu perusahaan dengan jam kerja yang ditentukan seenak hati para borjuis dan pola-pola pembagian upah yang tidak sebanding dengan pekerjaannya. Kaum borjuis menikmati kemewahan hidup dari pemerasan tenaga kaum proletar, sehingga kemewahan borjuis tidak lain adalah hasil dari cucuran keringat proletar yang hidupnya semakin miskin. Marx menuduh bahwa kemiskinan yang dialami oleh kaum proletar adalah ciptaan kaum borjuis dengan pemaksimalan jam kerja dengan upah yang rendah. 

Sementara kaum borjuis semakin menumpuk kekayaannya yang imbasnya adalah ketimpangan sosial yang sangat tajam. Dalam hal ini Marx memprediksikan (memperkirakan) bahwa proses pemiskinan kaum proletar akan berdampak pada meledaknya revolusi sosial. Revolusi sosial akan bergulir sebagai akibat tidak tahannya kaum proletar di dalam kemiskinannya, sebab daya tahan hidup kaum proletar sudah ada pada ambang ketahanan. Artinya penderitaan itu ada batas kemampuan untuk bertahan, sehingga jika kaum proletar sudah tidak tahan dalam penderitaan tersebut maka ia akan mengadakan perlawanan melalui revolsi yang intinya adalah menyingkirkan dominansi kaum borjuis. Sasaran dari revolusi adalah membentuk kehidupan masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial yang disebut masyarakat tanpa kelas dengan pola-pola pembagian ekonomi yang sama rata sama rasa. Dalam kehidupan masyarakat tersebut sudah tidak lagi ketimpangan sosial sebab kedudukan semua orang adalah sama. Keadaan masyarakat yang demikian ini disebut masyarakat sosialis. Marx mempredikiskan bahwa revolusi akan bergulir di saat proletar sudah tidak lagi tahan hidup dalam penderitaan yang dalam. Dalam hal ini Marx melihat adanya sejarah perjuangan kelas. Artinya, sejarah selalu diwarnai oleh pertentangan antara kelas proletar dan kelas borjuis, yang berakhir dengan tersingkirnya kaum borjuis / kapitalis dari kehidupan sosial. 

C. Herbert Spencer (1820-1903) 

Ia adalah seorang yang berkembangsaan Inggris yang menguraikan materi sosiologi secara terperinci dan sistematis. Dalam pandangannya ia mengatakan bahwa obyek kajian sosiologi yang adalah kehidupan keluarga, perilaku politik, tingkah laku antar penganut agama, kontrol sosial dan kehidupan masyarakat industri yang di dalamnya terdapat asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja (job division), pelapisan sosial (social stratification), sosiologi pengetahuan (sociological knowledge) dan ilmu pengetahuan (science). Pada tahun 1876 Spencer mengemukakan teorinya yang dikenal dengan istilah teori evolusi sosial (social evolution), yang hingga saat ini masih banyak dianut para sosiolog dan mengalami banyak perkembangan. Dalam teori tersebut ia menganggap bahwa perubahan masyarakat itu ekvivalen dengan teori evolusi Darwin. Dalam evolusi sosial ia berpendapat bahwa perkembangan masyarakat akan selalu berubah secara linier dari tingkat peradaban yang primitif ke arah peradaban modern (industri) secara bertahap sebagaimana teori evolusi Darwin. 

D. Emile Durkheim (1858-1917) 

Ia adalah salah satu orang yang memelopori perkembangan sosiologi. Ia telah banyak melakukan penelitian-penelitian pada lembaga-lembaga dalam masyarakat dan proses-proses sosial yang selanjutnya mengadakan pembagian-pembagian sosiologi dalam tujuh bagian diantaranya adalah; 

1. Sosiologi umum yang pembahasannya meliputi kepribadian individu dan kelompok manusia, 

2. Sosiologi agama yang membahas perilaku para penganut agama yang terdiferensiasi (terbagi-bagi) dalam kelompok-kelompok agama yang berbeda-beda,

1. Sosiologi yang membahas tentang perilaku kejahatan baik kejahatan secara individual maupun secara kelompok,

2. Sosiologi hukum dan moral yang di dalamnya membahas banyak tentang organisasi politik, sosial, perkawinan dan keluarga,

3. Sosiologi ekonomi yang bahasan materinya mencakup ukuran-ukuran penelitian dan kelompok kerja,

4. Sosiologi yang membahas perilaku masyarakat perkotaan (urban society) dan perilaku masyarakat pedesaan (rural society),

5. Sosiologi estetika, yang pokok bahasannya mencakup karya seni dan budaya.

Salah satu dari karyanya yang terkenal diantaranya adalah ”Rules of Sociological Method, (1895)”, yang banyak membahas tentang metodologi dalam penelitian klasik tentang “bunuh diri” (sucide) di berbagai kelompok masyarakat.

E. Max Weber (1864-1920)

Ia yang memperkenalkan pendekatan vestehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku masyarakat yang melahirkan interaksi sosial. Karya Max Weber tentang perkembangan sosiologi misalnya adalah analisa tentang wewenang, birokrasi, sosiologi agama, organisasi-organisasi ekonomi dan sebagainya. Secara umum perkembangan ilmu sosiologi sebagaimana telah dipaparkan di depan oleh para ilmuan di abad 19 dikatakan lebih bersifat makro. Mulai saat itu para soisolog berpendapat bahwa perubahan suatu masyarakat dapat diprediksi (diramalkan) melalui pemahaman karakteristik suatu masyarakat tersebut. Artinya dari karakteristik tersebut suatu perubahan akan dapat dilihat sebelumnya sebab karakteristik masyarakat akan sangat berpengaruh pada perubahan sosial. Perkembangan ilmu sosiologi telah membawa perubahan pendekatan dimana pada dekade sebelumnya analisas sosiologi lebih bersifat makro maka perkembangan selanjutnya lebih bersifat mikro.

Penjelasan Mengenai Apa Yang Dimaksud Dengan Sosiologi Klasik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com