Lapisan bumi terdiri dari inti (core), selubung (mantle) dan kerak (crust). Inti bumi tebalnya kira-kira 3475 km, selubung tebalnya kira-kira 2870 km, sedangkan bagian paling luar bumi, yaitu kerak tebalnya 35 km. Inti bumi terdiri dari dua bagian yaitu bagian dalam yang padat dan bagian luar yang cair. Selubung bumi adalah batuan yang semi-cair, sifatnya plastis, sedangkan kerak bumi yang jadi tempat hidup kita sifatnya padat.
Kerak bumi bagian terluar bumi mempunyai temperatur yang lebih dingin daripada bagian inti. Karena perbedaan temperatur inilah terjadilah aliran konveksi di selubung bumi. Material yang panas naik menuju keluar dan material dingin turun menuju ke dalam. Ketika potongan-potongan atau lempengan kerak bumi tergerakkan oleh sistem roda berjalan ini, mereka bisa saling bertabrakan. Bagian terluar dari bumi ini bergerak. Apalagi dengan adanya beberapa bencana yang sangatlah berkaitan dengan pergerakan ini seperti gempa bumi dan tsunami. Bagian-bagian terluar dari bumi ini (tectonic plate) atau lempeng tektonik. Pergerakan lempeng-lempeng ini yang menjadi penyebab bencana-bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
Lempeng tektonik adalah lapisan terluar dari bumi yang terdiri dari lapisan luar yang bernama “lithosphere” dan lapisan dalam yang bernama “astenosphere”. Lempeng-lempeng inilah yang menyusun bentuk rupa dari bumi. Alfred Wegener, ahli astronomi merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa bumi ini disebut ‘PANGAEA’ (berarti semua daratan) dan terletak di kutub selatan.
Baca Juga : Skema Terjadinya Tsunami dan Gempa bumi
Beliau menjelaskan bahwa gaya sentrifugal dari bumi ke arah khatulistiwa menyebabkan bumi ini terpecah-pecah. Teori beliau ini pada tahun 1912 sering disebut sebagai ‘CONTINENTAL DRIFT’. Alfred Wegener menggunakan beberapa bukti yang dapat meyakinkan teorinya ini. Salah satunya adalah penemuan fosil atau sisa-sisa makhluk hidup di beberapa benua yang memiliki persamaan genetik. Beliau juga mengatakan bahwa gunung-gunung terbentuk karena tabrakan antar kontinen. Sampai akhirnya tahun 1929, Arthur Holmes mengemukakan bahwa bergeraknya lempeng terjadi akibat konveksi panas. Dimana apabila
suatu benda dipanaskan maka densitasnya akan berkurang dan muncul ke permukaan sampai benda tersebut dingin dan tenggelam lagi. Perubahan panas dingin ini dipercaya dapat menghasilkan arus yang mampu menggerakkan lempeng-lempeng di bumi. Beliau mengumpamakan konveksi panas ini seperti konveyor yang dengan berubahnya tekanan dapat memecahkan lempeng-lempeng tersebut. Saat itu tidak banyak orang yang percaya sampai akhirnya di awal tahun 1960 Harry Hess dan R. Deitz menggunakan beberapa bukti bahwa arus konveksi dari mantel bumi itu memang ada. Bukti ini ditunjang dengan penemuan-penemuan seperti pematang tengan samudera di lantai samudera dan beberapa temuan anomali geomagnetik. Mereka menyebut teorinya dengan sebutan ‘SEA FLOOR SPREADING’ yang artinya pemekaran lantai samudera. Berdasarkan temuan-temuan inilah beberapa ilmuwan terutama ahli kebumian mulai meyakini pergerakan beberapa lempeng di bumi.
Lempeng ini bergerak beberapa sentimeter setiap tahunnya. Di bumi ini ada 7 lempeng besar, yaitu Pacific, North America, South America, African, Eurasian (lempeng dimana Indonesia berada), Australian, dan Antartica. Di bawah lempeng-lempeng inilah arus konveksi berada dan astenosphere (lapisan dalam dari lempeng) menjadi bagian yang terpanaskan oleh peluruhan radioaktif seperti Uranium, Thorium, dan Potasium. Bagian yang terpanaskan inilah yang menjadi sumber dari lava di gunung berapi dan juga sumber dari material yang keluar di pematang tengah samudera dan membentuk lantai samudera yang baru. Magma ini terus keluar ke atas di pematang tengah samudera dan menghasilkan aliran magma yang mengalir kedua arah berbeda dan menghasilkan kekuatan yang mampu membelah pematang tengah samudera. Pada saat lantai samudera tersebut terbelah, retakan terjadi di tengah pematang dan magma yang meleleh mampu keluar dan membentuk lantai samudera yang baru.
Kemudian lantai samudera tersebut bergerak menjauh dari pematang tengah samudera sampai dimana akhirnya bertemu dengan lempeng kontinen dan akan menyusup ke dalam karena berat jenisnya yang umumnya berkomposisi lebih berat dari berat jenis lempeng kontinen. Penyusupan lempeng samudera ke dalam lempeng benua inilah yang menghasilkan zona subduksi atau penunjaman dan akhirnya lithosphere akan kembali menyusup ke bawah astenosphere dan terpanaskan lagi. Kejadian ini berlangsung secara terus-menerus. Daerah pertemuan lempeng ini pada umunya banyak menghasilkan gempa bumi dan apabila sumber gempa bumi ini ada di samudera maka besar kemungkinan terjadi tsunami.
Pertemuan dari lempeng-lempeng tersebut adalah zona patahan dan bisa dibagi menjadi 3 kelompok. Mereka adalah patahan normal (normal fault), patahan naik (thrust fault), dan patahan geser (strike slipe fault). Selain ketiga kelompok ini ada satu lagi yang biasanya disebut tumbukan atau obduction dimana kedua lempeng sama-sama relatif ringan sehingga bertumbukan dan tidak menunjam seperti di selatan Iran dan di India, dimana lempeng Arabian dan lempeng Indian bertumbukan dengan lempeng Eurasian. Patahan normal biasanya berhubungan dengan gaya extentional atau regangan sedangkan patahan naik berhubungan dengan compressional atau tegasan atau dorongan. Patahan geser banyak berhubungan dengan gaya transformasi.
Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Australian dan Eurasian dimana lempeng Australian menyusup ke dalam zona eurasian sehingga membentuk zona subduksi sepanjang Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara, Timur dan melingkar di Banda. Sedangkan Irian Jaya adalah tempat bertemunya beberapa lempeng yaitu Australian, Eurasian, Pasific, dan Philipine. Akibat dari terbentunya zona subduksi inilah maka banyak sekali ditemukan gunung berapi di Indonesia.
Selanjutnya : Gempa dan Tsunami Yang Terjadi Di Aceh
0 komentar:
Posting Komentar