Cara Memonitoring Gempa Bumi dan Gempa Bumi Susulan | Biasa Membaca -->

Cara Memonitoring Gempa Bumi dan Gempa Bumi Susulan

Gempa susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan stress ke keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar pada gempa utama. Setiap gempa tektonik dangkal (kira-kira < 100km) selalu diikuti oleh dislokasi atau patahan. Dislokasi ini mengganggu keseimbangan medium sekelilingnya, sehingga dengan sendirinya muncul gempa lainnya yang merupakan proses keseimbangan baru.

Proses ini bisa berlangsung beberapa jam sampai bermingguminggu, tergantung pada besar gempa utama dan sifat batuan. Frekuensi dan magnitude gempa susulan ini umumnya menurun secara exponensial terhadap waktu. Extrapolasi kurva frekuensi dan magnitude terhadap waktu bisa menjadi patokan perkiraan besarnya gempa susulan, sehingga bahaya dari gempa susulan ini menjadi sangat serius apabila gempa utama telah merusak struktur bangunan. Struktur bangunan yang sudah dirusak oleh gempa bisa dianggap seperti susunan dinding, batu dan pilar yang tak mempunyai daya ikat lagi satu sama lain. Sehingga gempa susulan dengan MMI IV saja sudah cukup untuk merubuhkan bangunan.

Untuk itu peranan peneliti gempa susulan baik dari BMG atau lainnya sangat diperlukan untuk melihat tingkat penurunan aktivitas gempa. Gempa susulan Bengkulu yang dilaporkan team survey BMG menunjukkan penurunan aktivitas pada hari ke empat terdapat gempa susulan dengan skala MMI 6.5 yang mengakibatkan kenaikan aktivitas kedua setelah gempa utama.

baca juga : Hidup Di Tengah Daerah Rawan Bencana

Kenyataan bahwa berita bencana sangat cepat menyebar di media massa, sehingga pemerintah atau lembaga lainnya sangat cepat bereaksi untuk memberikan bantuan untuk penduduk yang sedang dilanda bencana. Jika kita bisa meramalkan gempa bumi, maka bencana tentunya tidak akan terjadi dan tidak perlu mengeluarkan dana.

Namun teknik untuk meramal gempa bumi sampai sekarang belum ada yang bisa dipertahankan secara ilmiah, sehingga kita perlu mempersiapkan diri, lingkungan dan bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Untuk itu diperlukan peta aktivitas gempa bumi yang menunjukkan bahwa aktivitas seismik (gempa) di Indonesia umumnya tinggi hampir di semua pulau. Setiap pulau mempunyai tingkat aktivitasnya masing-masing yang perlu di monitor dengan merapatkan jaringan seismograp sehingga informasi aktivitas gempa
bumi bisa lebih teliti.

Bencana gempa bumi, tsunami atau letusan gunung berapi adalah suatu bukti dari ketidakmampuan kerak bumi menampung akumulasi deformasi yang berasal dari proses berkesinambungan dari pergerakan tektonik lempeng atau pergerakan magma kepermukaan. Sehingga deformasi sesaat berupa gempa bumi atau letusan gunung api tak terhindarkan.

Bencana gunung berapi umumnya dapat ditanggulangi secara dini, karena gejala letusan bisa diamati, mulai dari arah letusan, arah aliran magma sampai pada luas daerah yang akan mengalami bencana dapat diperkirakan. Gunung Rabaul (Papua Nugini) contohnya meletus bulan September 1994. Persiapan evakuasi telah dilaksanakan secara bertahap 10 tahun sebelumnya, sehingga nyawa dan harta dapat diselamatkan. Hal ini menyangkut efektifitas informasi yang disampaikan pada masarakat. Dipihak lain juga menyangkut keberhasilan monitoring dan penelitian tentang tabiat pergerakan magma dan peramalannya.

Dua pihak antara masarakat dan peneliti berkomunikasi dengan baik sehingga calon korban dapat dan mau diselamatkan. Karena itu interaksi antara masarakat dan peneliti gempa bumi perlu ditingkatkan seperti halnya bencana gunung api. Korban gempa bumi disebabkan oleh runtuhan bangunan yang digoyang gempa, sedangkan korban letusan gunung api disebabkan oleh aliran lahar, magma, debu panas, atau kebakaran, dimana manusia tidak dapat bertahan ditempat kejadian dan harus mengungsi puluhan kilometer.
Calon korban gempa bumi tidak perlu mengungsi asalkan bangunan dan lingkungan mereka tahan terhadap gempa bumi, karena itu sangat perlu kita sadari bersama bahwa jatuhnya korban karena runtuhan bangunan atau kejatuhan peralatan rumah tangga. Resiko terhadap gempa bumi jelas ada, namun gejalanya tak sejelas
bencana gunung berapi, karena itu pengertian dan pengetahuan masyarakat lebih ditekankan agar tidak membangun bencananya sendiri di tempat kediaman. Pegertian ini dapat ditingkatkan dengan penerangan dan penjelasan tentang kenyataan hidup di lokasi aktif gempa.

Makin besar kesiagaan masarakat atas bencana yang mengancam, maka makin kecil resiko yang dihadapi. Sarana yang paling efektif menurut penulis adalah pendidikan formal melalui program monitoring di sekolah atau program monitoring di daerah sekitar aktif gempa dimana pemerintah daerah langsung ikut terlibat didalamnya.

selanjutnya : Perubahan Struktur Tanah Dampak Dari Gempa Bumi

0 komentar:

Posting Komentar