Budaya politik erat kaitannya
dengan sistem politik, dimana sistem politik Indonesia sudah beberapa
kali mengalami perubahan antara lain dimulai dengan sistem politik
demokrasi liberal, sistem politik demokrasi terpimpin, serta sistim
politik demokrasi Pancasila. Hal itu berarti pula perubahan budaya
politik mengikuti kepada sistem politik.
Budaya politik lebih mudah dikenal secara kongkrit melalui pengenalan manifestasi yang nampak dalam wujud sikap politik.Budaya politik dapat dikenal melalui struktur vertikal masyarakat, pengembangan lembaga-lembaga tradisional dan lain-lain.
Menurut Rusadi Kantaprawira (Sistem Politik Indonesia, 1988 : 35) “Para penelaah politik Indonesia seyogyanya memperhatikan peranan budaya politik, karena ternyata mempunyai refleksi pada pelembagaan politik dan bahkan pada proses politik”.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya politik merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Menurut David Easton (A System Analysis of Political Life, 1965 : 31 dalam Rusadi Kantaprawira) ”Dalam budaya politik berinteraksi antara lain sejumlah sistem seperti : sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem kepribadian (personality system) yang tergolong dalam kategori lingkungan dalam masyarakat (intra-societal environment), maupun lingkungan luar masyarakat (extra-societal environment), sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar. Secara tak langsung, yang paling dianggap intens dan mendasari sistem politik Indonesia tentunya adalah budaya politik” .
Bagi Indonesia dewasa ini, khususnya dengan masuknya teknologi maju serta pertukaran atau kontak dengan kebudayaan dan peradaban luar, boleh jadi akan terjadi keadaan yang tidak harmonis atau keadaan yang berubah ke arah keseimbangan yang baru yang lebih harmonis. Dengan demikian, sistem politik Indonesia harus dapat memperhitungkan berbagai tekanan budaya politik tertentu.
Beberapa permasalahan budaya politik (Rusadi Kantaprawira, 1988 : 36-38) yang perlu diperhatikan antara lain :
1) Konfigurasi sub kultur Indonesia yang beraneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India, misalnya yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan (vulnerable). Pada prinsipnya masalah keanekaragaman subkultur di Indonesia telah dapat ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2) Budaya politik Indonesia yang bersifat parokial kaula di satu pihak dan budayapolitik partisipan di lain pihak, dimana masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan tanggungjawab politik dan di lain pihak masyarakat yang “kebablasan” dalam menggunakan hak politiknya yang menimbulkan berbagai perilaku anarkisme, kebrutalan dan lain-lain. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan politik di Indonesia merupakan “mixed political culture”.
3) Sifat ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu : puritanisme (prinsip dan ajaran orang protestan Inggris yang sangat fanatik) dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di Indonesia misalnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 yang bersifat “Jawa sentris”, karena di pulau Jawa jumlah pemilihnya sangat besar dibandingkan pulau-pulau lainnya.
4) Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain : bapakisme, sikap asal bapak senang dan lain-lain.
5) Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah apakah pelembagaan dalam sistem politik Indonesia sudah siap menampung proses pertukaran (interchange)kedua variabel tersebut ?
Budaya politik lebih mudah dikenal secara kongkrit melalui pengenalan manifestasi yang nampak dalam wujud sikap politik.Budaya politik dapat dikenal melalui struktur vertikal masyarakat, pengembangan lembaga-lembaga tradisional dan lain-lain.
Menurut Rusadi Kantaprawira (Sistem Politik Indonesia, 1988 : 35) “Para penelaah politik Indonesia seyogyanya memperhatikan peranan budaya politik, karena ternyata mempunyai refleksi pada pelembagaan politik dan bahkan pada proses politik”.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya politik merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Menurut David Easton (A System Analysis of Political Life, 1965 : 31 dalam Rusadi Kantaprawira) ”Dalam budaya politik berinteraksi antara lain sejumlah sistem seperti : sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem kepribadian (personality system) yang tergolong dalam kategori lingkungan dalam masyarakat (intra-societal environment), maupun lingkungan luar masyarakat (extra-societal environment), sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar. Secara tak langsung, yang paling dianggap intens dan mendasari sistem politik Indonesia tentunya adalah budaya politik” .
Bagi Indonesia dewasa ini, khususnya dengan masuknya teknologi maju serta pertukaran atau kontak dengan kebudayaan dan peradaban luar, boleh jadi akan terjadi keadaan yang tidak harmonis atau keadaan yang berubah ke arah keseimbangan yang baru yang lebih harmonis. Dengan demikian, sistem politik Indonesia harus dapat memperhitungkan berbagai tekanan budaya politik tertentu.
Beberapa permasalahan budaya politik (Rusadi Kantaprawira, 1988 : 36-38) yang perlu diperhatikan antara lain :
1) Konfigurasi sub kultur Indonesia yang beraneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India, misalnya yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan (vulnerable). Pada prinsipnya masalah keanekaragaman subkultur di Indonesia telah dapat ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2) Budaya politik Indonesia yang bersifat parokial kaula di satu pihak dan budayapolitik partisipan di lain pihak, dimana masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan tanggungjawab politik dan di lain pihak masyarakat yang “kebablasan” dalam menggunakan hak politiknya yang menimbulkan berbagai perilaku anarkisme, kebrutalan dan lain-lain. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan politik di Indonesia merupakan “mixed political culture”.
3) Sifat ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu : puritanisme (prinsip dan ajaran orang protestan Inggris yang sangat fanatik) dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di Indonesia misalnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 yang bersifat “Jawa sentris”, karena di pulau Jawa jumlah pemilihnya sangat besar dibandingkan pulau-pulau lainnya.
4) Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain : bapakisme, sikap asal bapak senang dan lain-lain.
5) Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah apakah pelembagaan dalam sistem politik Indonesia sudah siap menampung proses pertukaran (interchange)kedua variabel tersebut ?
0 komentar:
Posting Komentar