Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi. Oleh karena itu tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hal itu. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semaunya. Hak Asasi yang dimiliki oleh seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain, tuntutan keadilan, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Walaupun Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak kelahirannya sebagai mahluk Tuhan, namun perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan HAM adalah perjuangan sepanjang sejarah umat manusia berhadapan dengan kecenderungan kekuasaan yang menindas. Perjuangan pengakuan hak asasi manusia dapat dilihat tidak hanya dari konteks politik kenegaraan, tetapi juga dapat dilihat sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia. Agama-agama besar dunia dapat ditempatkan sebagai bagian dari tonggak perjuangan HAM yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan dan tirani yang membelenggu dan menindas hak asasi manusia.
Dalam konteks politik kenegaraan, dokumen pertama yang merupakan tonggak pengakuan Hak Asasi Manusia adalah Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad s.a.w dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah pada 622 Masehi. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (Social contract) tahun 622 Masehi ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (1) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (2) kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (3) kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (4) kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (5) kaum Yahudi dari Banu Al-Hars, (6) Banu Jusyam, (7) kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (8) kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (9) Banu al-Nabit, (10) Banu al-‘Aws, (11) kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (12) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (13) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1 misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan “Innahum ummatan wahidatan min duuni al –naas”. (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain). Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum Mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu ummat dengan kaum Mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri”. Jaminan persamaan dan persatuan dalam keberagaman tersebut demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini sehingga dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Tonggak pengakuan HAM berikutnya adalah Magna Charta di Inggris pada 1215. Magna Charta kemudian diikuti dengan konsepsi HAM yang lebih kongkrit dalam Bill of Rights pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium itu memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The AmericanDeclaration of Independence yang lahir pada 1776. Selanjutnya pada tahun 1789 di Perancis lahirlah Declaration des Droits de l’hommes et du Citoyen, yang melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain, dinyatakan bahwa tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula asas presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, harus dinyatakan tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa orang-orang itu bersalah. Dipertegas juga dengan bebas mengeluarkan pendapat (freedom of expression), bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki (freedom of religion), perlindungan terhadap hak milik (the right ofproperty), dan hak-hak dasar lainnya.
Walaupun hak asasi manusia sudah diperjuangkan hingga melahirkan suatu deklarasi atau piagam, Perang Dunia ke II tidak dapat dihindari. Pembunuhan dan kerusakan dasyat yang ditimbulkan Perang Dunia ke II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang. Oleh karena itu lahirlah sebuah organisasi internasional yang diharapkan dapat meredakan krisis internasional serta serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi permasalahan antar bangsa tanpa melalui peperangan. Organisasi itu adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Organization (UNO). Para pendiri PBB yakin bahwa pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia akan mengurangi perang. Berdasarkan keyakinan tersebut, konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. PBB kemudian berhasil menyusun sebuah pernyataan yang dinamakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi itu menyatakan bahwa hak asasi manusia berakar dari martabat dan harkat manusia. Penegakan HAM menjadi syarat terwujudnya perdamaian dan keamanan domestik ataupun internasional. Turunan-turunan deklarasi universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional, tetapi juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.
Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenanton Civil and Political Rights), yang dibentuk PBB menyediakan prosedur bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian itu menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee). Pada saat ini, komite itu telah menjadi Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
0 komentar:
Posting Komentar