Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia | Biasa Membaca -->

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Dalam sejarah timbulnya istilah Civics di Indonesia dapat dilukiskan secara kronologis.Sejak tahun 1957 dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas terdapat istilah kewarganegaraan yaitu pelajaran yang ditempelkan dalam pelajaran tatanegara.Isinya hanya membahas tentang cara-cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan. Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan Pidato P.Y.M Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, maka dianggap wajar untuk melakukan pembaruan pendidikan nasional.

Salah satu hal untuk menyempurnakan pendidikan itu adalah usaha menimbulkan pengertian dan jiwa patriotisme pada diri murid sekolah. Oleh karena itu, maka dengan Surat Keputusan Nomor 122274/S, tanggal 10 Desember 1959 di Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan telah dibentuk panitia yang terdiri atas tujuh orang pegawai Departemen PPdan K, yaitu Mr. Soepardo, Mr.M.Hoetahoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasyidi, Soekarno dan Mr.J.C.T Simorangkir yang diberi tugas untuk membuat buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga Negara Indonesia disertai dengan hal-hal yang akan menginsafkan mereka tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Buku tersebut adalah Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic) yang diterbitkan pada 12 November 1960 dimana kata sambutan diberikan oleh menteri Pendidikan,Pengajaran dan Kebudayaan (pada waktu itu) Prijono. Buku tersebut mendapat sambutan dan perhatian besar dari masyarakat serta berbagai instansi. Selanjutnya istilah “kewarganegaraan” diubah menjadi “kewargaannegara” .Saran ini dating dari Menteri Kehakiman Mr. Sahardjo yang lebih menekankan pengertian dan isi serta kewajiban dan tugas serta hak warganegara.

Sumber pertama buku tersebut adalah pidato-pidato Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia berikut penjelasan-penjelasannya. Dengan buku tersebut, dimaksudkan dapat membentuk manusia Indonesia baru yang berjiwa patriotic, mengerti dan mendukung Manifesto Politik Republik Indonesia beserta USDEK (U=Undang-Undang Dasar 1945, S=Sosialisme ala Indonesia, D=Demokrasi terpimpin, E=Ekonomi terpimpin dan K=Kepribadian ala Indonesia), sehingga masyarakat akan berusaha keras untuk membangun masyarakat baru, yang oleh Presiden Soekarno disebut masyarakat sosialis Indonesia, di dalam rangka Negara Republik Kesatuan Indonesia yang meliputi juga Irian Barat dan yang ingin hidup damai dengan segala bangsa di seluruh dunia yang besar dan segala macam penindasan dan penjajahan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa kewarganegaraan (Civic) pada masa itu identik dengan indoktrinasi karena pelajaran Civic berisikan haluan Negara yaitu Manifesto Politik USDEK.

Baca Juga : Budaya Demokrasi dalam Masyarakat Madani

Pada tahun 1968, istilah Civic di sekolah diberi nama “Pendidikan Kewargaan Negara”. (Catatan : istilah Pendidikan Kewargaan Negara, dengan meletakkan akhiran -an di tengah-tengah, dimaksudkan bahwa tekanannya pada warga Negara, bukan pada Negara. Dewasa ini istilah tersebut diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan , dengan meletakkan akhiran -an pada akhir kata, sesuai dengan saran dari Lembaga Bahasa, bahwa akhiran -an harus diletakkan pada bagian akhir kata). Apabila ditelaah maksud dari pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara, baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas serta sekolah lainnya, maksudnya tidak lain dari mengembangkan dan menumbuhkan warga negara yang baik. Isi bahan pelajaran mengandung elemen-elemen nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama, kebudayaan, pokoknya segala sesuatu yang dianggap baik menurut moral Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan keputusan-keputusan lembaga legislatif serta pemerintah.Nilai-nilai tersebut dalam pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tidak dapat disangkal adalah baik sekali, hanya saja dalam susunan pelajaran di sekolah terlalu menekankan kepada soal-soal kenegaraan, sedangkan kebutuhan pribadi pelajar kurang diperhatikan.

Di Sekolah Dasar, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara terdiri dari integrasi dari pelajaran ilmu bumi, sejarah Indonesia dan pengetahuan kewargaan Negara (Civic). Di Sekolah Menengah Pertama, terdiri dari 30 persen mengenai sejarah kebangsaan, 30 persen mengenai kejadian setelah Indonesia merdeka dan 40 persen mengenai Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di Sekolah Menengah Atas, 100 persen mengenai Undang-Undang Dasar 1945.

Dari gambaran tersebut di atas jelaslah bahwa walaupun nama mata pelajarannya Pendidikan Kewargaan Negara, namun belum menyentuh kebutuhan serta motivasi para pelajar untuk menerapkannya dalam praktek. Mata pelajaran lebih bersifat hafalan dan kurang diminati para pelajar.

Pada tahun 1975, pemerintah mengganti istilah Pendidikan Kewargaan Negara menjadi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dimana pemerintah menganggap mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara kurang mampu mengembangkan perilaku warga negara yang mendukung garis kebijakan Orde Baru, pertahanan keamanan nasional serta pembangunan nasional sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah. Di sisi lain, dalam Pidato Kenegaraan di depan DPR pada tanggal 16 Agustus 1978 Presiden Soeharto menegaskan, “Tiidak perlu diragukan lagi bahwa kita dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga, dan kalau perlu mempertaruhkan apa saja, untuk mewujudkan kehidupan bangsa kita dalam bernegara dan berpemerintahan sesuai dengan falsafah dan ideologi Negara Pancasila dan konstitusi Negara Undang-Undang Dasar 1945”.

Sejak kelahirannya Orde baru memang bertekad untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945.Beliau juga menilai bahwa sejak itu kehidupan konstitusi terus ditumbuhkan karena adanya kesadaran bahwa kehidupan konstitusional adalah hal yang fundamental dalam usaha pembinaan dan pembangunan bangsa agar bangsa itu dapat tumbuh dan berkembang dengan tertib, teratur, dan berkesinambungan.

Selanjutnya ditetapkanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), dimana ketentuan Pasal 4 menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. Selanjutnya, seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jurusan, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39). Kurikulum Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir P-4, akan tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P-4 dan sumber resmi lainnya. Menurut kurikulum 1994, PPKn diartikan sebagai mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia.

Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2002 mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warganegara cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini kemudian didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pada pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Sesuai dengan isi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan Kewarganegaraan diarahkan kepada tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia masih kabur dan masih menimbulkan kebingungan pada guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan, karena terjadinya perubahan-perubahan politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah.

Selanjutnya : Pengertian Globalisasi

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com