Setiap masyarakat mengalami perkembangan kebudayaan atau cultural development, dari yang paling sederhana menjadi yang paling kompleks. Begitu pula halnya masyarakat agraris mengalami perkembangan mulai dari masyarakat pemburu-peramu, masyarakat holtikultur sederhana, masyarakat hortikultur inten-sif sampai masyarakat petani menetap. Stratifikasi sosial pada masyarakat petani menetap merangsang mereka mencapai prestise (gengsi). Seperti kekayaan, kehormatan, jabatan dll.
Tipe-tipe masyarakat dapat dibedakan berdasarkan dorongan untuk mencapai prestise tinggi, yaitu masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka. Seperti dikemukakan oleh Erasmus (dalam Soewardi) sebagai berikut :
a. Pada masyarakat tertutup, diferensiasi dan peluang pengetahuan belum berkembang. Belum adanya spesialisasi pekerjaan menyebabkan kurangnya barang atau bahan makanan yang tahan lama. Karena itu, setiap warga masyarakat saling memberi kebutuhan masing-masing. Adanya kebiasaan saling memberi lama-kelamaan menjadi suatu dorongan untuk mencari prestise (gengsi). Hal tersebut merupakan kebutuhan sosial yang paling utama. Seseorang yang merasa dirinya lebih dari cukup dibandingkan orang lain, baik sebagai pemburu atau sebagai petani, akan senang apabila memberikan kelebihan rejekinya kepada orang lain, maka ia akan memperoleh gengsi atau prestise dari perbuatannya itu. Tindakan membagikan kelebihan rejeki ini disebut conspicuous giving harus diimbangi oleh sanksi-sanksi yang keras disebut invidious sanctions, yaitu keharusan untuk membagikan kelebihan rejeki. Tindakan membagikan kelebihan rejeki dari hal-hal biasa sebagai kesenangan menjadikannya sebagai suatu kewajiban, apabila tidak melakukannya maka dikenakan sanksi dan dianggap melanggar nilai dan norma yang berlaku;
b. Adanya spesialisasi pekerjaan dalam kehidupan menyebabkan masyarakat mulai terbuka. Hal ini ditunjang dengan adanya komunikasi dengan masyarakat lain dan adanya sarana transportasi antardaerah yang memadai. Akibatnya muncul perdagangan dan kehidupan masyarakat mulai mengkhususkan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu. Masyarakat mulai memikirkan adanya barang atau bahan makanan tahan lama yang banyak dibutuhkan. Hal ini menimbulkan keinginan untuk memiliki barang sebanyak-banyaknya. Akibat-nya pola pikir mereka dalam mencapai prestise yang tinggi berubah. Dari memberi kelebihan rejeki pada orang lain menjadi dorongan untuk menumpuk kekayaan dan kesenangan. Perubahan pola pikir tersebut (dari memberikan kekayaan menjadi pameran kekayaan) disebut conspicuous ownership. Perubahan tindakan tersebut mempengaruhi pola pikir warga masyarakat lainnya untuk meniru dan berusaha keras untuk mencapainya, disebut individious emulation;
c. Akhirnya pameran kekayaan mulai mencapai titik puncak dan menghadapi penurunan atau kejenuhan. Warga masyarakat mulai mencari kepuasaan baru dengan beralih pada conspicuous production yaitu kegiatan produksi yang mencolok, termasuk bidang nonmaterial (rohani). Pola pikir dan kerja dalam proses produksi berkembang semakin intensif. Hal itu terjadi karena ditunjang beberapa faktor. Yaitu, pertama, sebagai akibat produksi massa yang mengha-silkan barang-barang tahan lama dalam jumlah besar menyebabkan meratanya norma-norma konsumsi. Akibat hal itu akan mengurangi arti pameran kekaya-an. Kedua spesialisasi pekerjaan memberikan kesempatan timbulnya variasi kegiatan teknologi tanpa batas. Orang-orang mencari kepuasaan dan mening-katkan prestise melalui penggunaan waktu sebaik mungkin untuk menun-jukkan kerajinan, keterampilan dan individualitas. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan kemampuan, keterampilan dan prestise orang lain. Hal itu merupakan salah satu unsur persaingan yang pen-ting dalam mencapai prestasi kerja yang tinggi, disebut invidious promotion.
Stratifikasi sosial muncul pada masyarakat yang telah memiliki spesialisasi yang kompleks. Pada jenis masyarakat ini prestise di dasarkan pada prestasi kerja. Lahan pertanian diolah sepanjang tahun melalui Panca Usaha Tani
Masyarakat petani memiliki aktivitas tambahan, biasanya mereka memelihara ternak secara terbatas, seperti, kambing, biri-biri (domba), kerbau, sapi, bahkan pada masyarakat tertentu memelihara pula kuda. Ternak yang mereka pelihara, selain dijual juga pada saat-saat tertentu sengaja disembelih terutama untuk pesta, tetapi kerbau dapat dimanfaatkan tenaganya untuk menarik bajak, sedangkan sapi digunakan untuk menarik gerobak.
Stratifikasi sosial masyarakat petani sudah sangat kompleks, karena dalam kehidupan mereka sudah mengalami berbagai kepentingan. Misalnya pemenuhan kebutuhan sekunder yang berasal dari daerah lain, keamanan lingkungan, penju-alan hasil bumi dan pertanian, hiburan. Adanya berbagai kepentingan tersebut akan memunculkan beberapa kelas sosial, yang secara umum terdiri dari,
a. Kelas penguasa yang memegang peranan dalam perekonomian masyarakat, seperti, pemimpin masyarakat dan tuan tanah. Pemimpin memiliki kekuasaan mengatur berbagai kehidupan dan kepentingan masyarakat. Tuan tanah, memiliki wewenang dalam mengatur harga sewa dan bagi hasil lahan pertanian, memberikan upah pekerja, menentukan harga hasil pertanian di pasaran setempat.
b. Kelas penyewa, memanfaatkan lahan pertanian yang luas milik orang lain terutama milik tuan tanah dan menggunakannya sebagai lahan pertanian. Kemudian hasilnya dijadikan sumber perekonomian keluarga;
c. Kelas pedagang, mereka menjual barang-barang kebutuhan kepada masyarakat dan kadangkala pedagang menampung hasil bumi dari petani untuk dijual di tempat lain. Dengan demikian, pedagang berfungsi sebagai pedagang perantara (bandar atau tengkulak);
d. Kelas rohaniwan, berfungsi sebagai penyebar agama atau membimbing masyarakat dalam hal keagamaan. Mereka mendapat upah dari mengurus tempat peribadatan, memberikan ceramah atau pengajian di rumah-rumah masyarakat. Tetapi rohaniwan di sini berbeda dengan ulama, biasannya seorang ulama bertindak sebagai pemimpin, tokoh masyarakat atau tuan tanah yang sangat dihormati. Sedangkan rohaniwan pendapatannya dari masyarakat;
e. Kelas petani, mereka hidupnya murni dari hasil pertanian, baik petani sebagai pemilik lahan yang sempit maupun sebagai buruh tani. Kedudukan mereka berada di bawah penyewa lahan pertanian;
f. Kelas seniman, mereka berfungsi sebagai penghibur masyarakat. Di desa-desa Jawa Barat, mereka ini disebut tukang pantun (tukang bercerita tentang kerajaan), penari keliling desa, penabuh gamelan dll. Seniman tidak selamanya melakukan aktivitas seni, adakalanya mereka bekerja sebagai buruh tani, melakukan kegiatan seni biasanya pada saat paceklik (kemarau) dengan berkeliling setiap desa atau menerima panggilan pada saat pesta yang dilaksanakan masyarakat;
g. Kelas sampah masyarakat, mereka ini tidak memiliki pekerjaan yang tetap, bahkan sering mengganggu ketenangan hidup warga masyarakat. Kehidupan sampah masyarakat sering dianggap negatif, karena sering melakukan pelang-garan terhadap nilai dan norma yang berlaku. Mereka kadangkala dimanfa-atkan pihak penguasa atau tuan tanah untuk merongrong orang-orang yang dianggap saingannya.
Masyarakat Desa di Jawa tidak memberi upeti atau upah kepada pemimpin mereka (kepala desa). Secara tradisional (adat) telah ditetapkan bahwa setiap kepala desa yang menjabat beserta perangkatnya diberi hak untuk menggarap atau menerima hasil dari lahan garapan yang disediakan. Hak tersebut berfungsi sebagai imbalan dari kerja mereka, yaitu mengatur, membina, dan memimpin pemerintahan desa. Hak yang diberikan kepada perangkat desa dianggap sebagai hak istimewa yang diberikan masyarakat kepada pemimpinnya. Adapun lahan garapan yang disediakan, yaitu :
a. Persil lungguh atau sebidang lahan garapan guna keperluan dinas, biasanya disebut tanah bengkok. Tanah ini diserahkan kepada pamong desa untuk digarap selama masa dinasnya sebagai ganti upah. Besarnya bagian lahan garapan milik dinas ini diperinci menurut jumlah dan jabatan/tugas masing-masing pimpinan (perangkat) desa. Karena kesibukan para perangkat desa, maka lahan garapan ini kadangkala digarap secara gotong-royong oleh masyarakat desa;
b. Areal lahan garapan kas desa yang dikenal dengan istilah bondo atau banda desa. Hasil dari lahan ini digunakan untuk kepetingan desa. Biasanya lahan garapan ini disewakan kepada penduduk yang berminat dalam jangka waktu disepakati atau ditentukan, sesuai dengan keadaan lahan itu sendiri. Uang hasil sewa lahan garapan dari penggarap dimasukan ke kas desa;
c. Lahan pituas atau lahan pertanian bagi orang pensiunan. Hasil lahan ini guna menyambung kebutuhan hidup bagi para bekel (para pemungut pajak di tingkat desa untuk kepentingan keraton atau lembaga yang lebih atas dari desa) yang sudah habis masa jabatannya karena tindakan perombakan. Mereka diperboleh-kan memanfaatkan lahan tersebut sampai akhir masa hidupnya. Untuk mempermudah pelaksanaan, bila disebabkan para bekel meninggal atau memang tidak ada maka lahan pituas menjadi kas desa.
Akibat perkembangan desa atau pemekaran pemerintahan di tingkat desa, maka lahan bengkok atau kas desa luasnya menjadi berkurang. Baik bengkok atau kas desa, di beberapa tempat keduanya sudah tidak ada sama sekali. Hal itu disebabkan karena desa-desa berubah menjadi kelurahan akibat meluasnya perkembangan kota. Maka lurah yang tadinya disebut kepala desa diangkat bukan oleh masyarakat lagi melainkan oleh pemerintah atau pegawai negeri yang ditempatkan menjadi lurah.
Di Indonesia, terutama di Jawa terdapat kelas-kelas sosial petani, penge-lompokkan tersebut di dasarkan pada penggunaan lahan untuk pertanian maupun untuk rumah tinggal. Pengelompokkan masyarakat petani secara tradisional, menurut Roll sebagai berikut :
a. Petani kenceng, yaitu pemilik dari bangunan rumah, pekarangan rumah dan persil-persil (surat) tanah pesawahan dan lahan pertanian tegalan. Mereka disebut sebagai orang desa inti, karena sejak turun temurun merupakan penduduk desa yang sudah lama bertempat tinggal di desa bersangkutan. Mereka menganggap dirinya sebagai keturunan kelompok pendiri desa;
b. Petani gundul, yaitu para pemilik persil tanah pesawahan atau lahan pertanian tegalan, tetapi tidak memiliki pekarangan rumah sendiri;
c. Petani setengah kenceng, yaitu para pemilik bangunan rumah dan pekarangan rumah. Mereka umumnya tidak memiliki lahan pertanian, sedangkan pekarang-an dimanfaatkan untuk berkebun sayuran, palawija atau tanaman pertanian yang tidak terlalu luas;
d. Petani ngindung, yaitu para pemilik rumah di atas pekarangan milik orang lain. Mereka dapat saja memiliki lahan garapan tetapi tidak terlalu luas;
e. Petani templek, yaitu para petani yang tidak memiliki lahan garapan. Kebanyakan terdiri dari orang yang telah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri dengan rumah tangga sendiri, tetapi di atas pekarangan milik orang lain. Misalnya, petani penggarap atau buruh tani yang diperbolehkan membuat rumah di atas lahan milik tuan tanah;
f. Petani tlosor, yaitu petani-petani yang sudah berkeluarga, tidak memiliki lahan garapan, tidak mempunyai tempat tinggal sendiri dan hidup di tempat (rumah) kerabatnya.
Pekarangan adalah lahan yang berada di sekitar rumah atau dekat dengan rumah. Biasanya ditanami pohon buah-buahan. Adakalanya juga digunakan untuk berkebun atau bertanam palawija.
Lapisan sosial masyarakat petani berdasarkan pemilikan lahan pertanian, dikelompokkan ke dalam tiga lapisan yang meliputi :
1) Lapisan atas, pemilik lahan pertanian lebih dari 0,5 hektar;
2) Lapisan menengah, petani gurem (sempit) pemilikan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar;
3) Lapisan bawah, yaitu buruh tani dan petani tak memiliki lahan pertanian.
Dari pengelompokan tersebut pemilikan lahan-lahan tampak tidak merata. Bahkan banyak petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Hal tersebut bagi sebagian besar masyarakat petani menyebabkan mereka miskin. Menurut Sayogyo untuk mengetahui tingkat sosial-ekonomi petani, dapat diukur berdasarkan penghasilan rata-rata dalam keluarga setara dengan nilai tukar 320 Kg beras setiap orang per tahun dianggap pada taraf kecukupan. Apabila mereka yang pendapatannya berada di bawah nilai tukar 320 Kg beras per orang pertahun dianggap pada taraf miskin.
Kenyataan yang kita hadapi akhir-akhir ini, terlihat bahwa kedudukan masyarakat desa sebagai petani yang miskin berada pada lapisan bawah. Mereka dianggap kalah dalam menanggapi kenyataan hidup. Karena itu, perlu dipikirkan suatu pola pembangunan pedesaan agar mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya sehingga kedudukan sosial mereka dapat meningkat dan terhormat.
selanjutnya : Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal
0 komentar:
Posting Komentar