Adapun musafir terdiri atas dua kelompok:
Kelompok Pertama:
Orang yang melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan supaya terlepas dari kewajiban melaksanakan puasa. Maka orang tersebut tidak diperbolehkan meninggalkan puasa, karena telah melakukan tipu daya untuk menghindar dari kewajiban. Hal tersebut tidaklah menyebabkan kewajiban tersebut gugur.
Kelompok Kedua:
Orang yang melakukan safar bukan karena tujuan di atas. Kelompok ini mempunyai tiga keadaan:
Keadaan pertama: Puasa tersebut sangat memberatkan orang yang safar. Maka dalam keadaan ini haram hukumnya untuk melaksanakan puasa. Hal ini dikarenakan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Fathu Makkah dalam keadaan berpuasa, datanglah berita bahwa para manusia merasa berat dalam berpuasa dan mereka menunggu apa yang akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan satu wadah berisi air. Setelah waktu ashar meminumnya, sedangkan saat itu para sahabat melihat beliau. Kemudian dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya sebagian manusia tetap berpuasa.” Lalu beliau bersabda:
“Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka itu adalah orang-orang yang bermaksiat.” (HR. Muslim)
Keadaan kedua: Puasa tersebut memberatkan orang yang safar namun tidak sampai pada keberatan yang sangat. Maka, hukumnya makruh jika ia melaksanakan puasa, karena dengan melaksanakan puasa berarti ia telah meninggalkan rukhshah (keringanan dari Allah Ta’ala) dan memberatkan diri sendiri.
Keadaan ketiga: Puasa tersebut tidak memberatkannya. Maka, dalam keadaan seperti ini ia memilih yang paling ringan baginya, boleh baginya untuk berpuasa boleh juga tidak. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan atas kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian.”
Iradah (menghendaki) yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah mahabbah (mencintai). Apabila antara berpuasa dengan tidak berpuasa sama-sama tidak memberatkan, maka melaksanakan puasa adalah lebih utama karena demikianlah yang dilaksanakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Darda’, ia berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika hari sangat panas, hingga salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya dikarenakan panas yang sangat. Dan tidak
ada di antara kami yang berpuasa ketika itu kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.”
Seseorang dikatakan dalam keadaan safar (bepergian) sejak ia keluar dari daerahnya sampai ia kembali ke daerah asalnya tersebut. Meskipun ia tinggal ditempat tujuan safarnya beberapa waktu lamanya, ia tetap dinamakan musafir selama ia meniatkan untuk tidak bermukim di tempat itu setelah selesai urusannya. Oleh karena itu, ia mendapatkan rukhshah (keringanan) bagi orang yang safar meskipun dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang batas waktu tertentu selesainya safar. Maka pada asalnya adalah tetap dalam kondisi safar dan diiringi dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya sampai datang dalil yang menunjukkan selesainya safar dan ditiadakannya hukum-hukum yang berkaitan dengannya.
Dan tidak ada perbedaan rukhshah, antara safar yang datang sekali waktu saja, seperti haji, umrah, mengunjungi karib kerabat, berdagang, dan semisalnya dengan safar yang terus menerus, seperti safarnya pengemudi kendaraan umum (taksi), atau selainnya seperti kendaraan-kendaraan yang besar. Kapan saja mereka keluar dari daerahnya, maka ketika itu mereka dalam keadaan safar, diperbolehkan bagi mereka halhal yang diperbolehkan bagi musafir lainnya, seperti tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mengqashar (meringkas) shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Demikian pula boleh menjamak (mengumpulkan) antara shalat dzuhur dengan ashar, serta maghrib dengan isyak jika ada hajat (kebutuhan).
Tidak berpuasa ketika dalam keadaan safar tersebut adalah lebih utama jika hal itu lebih memudahkan, kemudian mereka mengqadha’ puasa yang ditinggalkan tersebut pada musim dingin. Karena, para pengemudi kendaraan tersebut mempunyai daerah tempat mereka berasal. Oleh karena itu, kapan saja berada di negeri asalnya, mereka adalah orang-orang mukim, mereka mendapatkan hak orang-orang yang mukim dan mendapatkan kewajiban bagi orang-orang yang mukim. Dan kapan saja mereka safar, mereka mendapatkan hak bagi orang yang safar dan mendapatkan kewajiban bagi orang yang safar.
0 komentar:
Posting Komentar