Ruang Lingkup Sejarah Sebagai Kisah | Biasa Membaca -->

Ruang Lingkup Sejarah Sebagai Kisah

Sejarah sebagai kisah ialah ceritera berupa narasi yang disusun dari memori, kesan atau tafsiran menusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu lampau atau sejarah serba subjek. Berbeda dengan sejarah sebagai peristiwa atau kenyataan sejarah sifatnya objektif. Sedangkan sejarah sebagai kisah dapat menjadi subjektif, karena sejarah sebagai kisah adalah sejarah sebagaimana dituturkan, diceritakan oleh seseorang. 

Ruang Lingkup Sejarah Sebagai Kisah

Satu kejadian yang sama apabila dituturkan oleh dua orang atau lebih, tentu akan menghasilkan suatu penuturan cerita kejadian yang berbeda. Mengapa berbeda ? karena setiap orang akan memberikan tafsiran yang berbeda tentang peristiwa yang dilihatnya. Misalnya pada suatu daerah terjadi suatu kerusuhan antar dua kelompok yang saling bermusuhan. Bagi kelompok yang satu apabila menceritakan bagaimana penyebabnya kerusuhan itu terjadi, maka dia kemungkinan akan mengatakan bahwa penyebab kerusuhan itu disebabkan oleh ulahnya kelompok yang menjadi lawannya, begitu pula sebaliknya kalau kelompok lawannya akan bercerita penyebab kerusuhan tersebut.

Sejarah sebagai kisah dapat berbentuk lisan dan tulisan. Bentuk lisan misalnya penuturan secara lisan baik yang dilakukan oleh sesorang maupun sekelompok tentang peristiwa yang telah terjadi. Kita dapat menanyakan bagaimana kesan atau tafsiran sesorang atau sekelompok orang terhadap apa yang mereka alami, misalnya bagaimana kesan yang dituturkan oleh masyarakat di daerah Bandung Selatan tentang peristiwa Bandung Lautan Api. Masyarakat yang menuturkan dapat orang yang pernah mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut, atau dapat pula orang yang tidak mengalaminya tetapi dia pernah mendengar dari orang yang langsung mengalaminya. Kemungkinan penuturan dari setiap individu akan berbeda-beda tentang peristiwa Bandung Lautan Api tersebut. Apa yang dituturkan oleh masyarakat tersebut, itulah yang disebut sejarah sebagai kisah.

Bentuk tulisan sejarah sebagai kisah dapat berupa catatan-catatan atau buku-buku sejarah yang menceritakan tentang kejadian yang telah terjadi. Ada kebiasaan pada orang-orang tertentu mencatat dalam buku hariannya tentang peristiwa-peristiwa penting. Misalnya seorang jendral pemimpin perang, mencatat bagaimana strategi yang dia lakukan ketika menghadapi perang dengan Belanda. Dalam catatannya ini kita dapat menemukan penuturan bagaimana semangat pasukannya, jumlah pasukannya, daerah-daerah perlawannya, kekuatan lawan, senjata yang digunakan, dan hal-hal lainnya. Kemungkinan apabila kita tanyakan kepada anak buahnya tentang perang tersebut bisa berbeda kesannya dari apa yang dituturkan oleh catatan sang Jendral tersebut.

Akhir-akhir ini kita sering melihat banyak para tokoh-tokoh penting menulis biografinya. Dalam buku tersebut biasanya banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa penting yang dilihat atau dialami oleh tokoh tersebut. Tokoh yang menulis biografi tersebut akan memberikan penilaiannya tersendiri tentang suatu peristiwa. Peristiwa tersebut bisa dinilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Tetapi, kalau kita baca biografi tokoh yang lainnya tentang suatu peristiwa yang sama sebagaimana yang telah ditulis oleh tokoh sebelumnya, kemungkinan akan memberikan kesan yang berbeda. Misalnya tokoh yang mendukung peristiwa reformasi 1998 di Indonesia akan menyatakan sebagai sesuatu yang positif dalam membangun demokratisasi di Indonesia. Sedangkan bagi tokoh yang merasa dirugikan kedudukannya dengan adanya peristiwa reformasi, akan kemungkinan akan memberikan penilaian yang jelek terhadap peristiwa reformasi.

Buku-buku sejarah yang kamu baca, merupakan salah satu bentuk dari sejarah sebagai kisah. Sejak kamu duduk di bangku Sekolah Dasar sampai dengan SMU sekarang, pelajaran sejarah sudah diberikan. Buku-buku pelajaran seajarah yang kamu baca di sekolah, banyak menceritakan sejarah bangsa Indonesia, mulai dari zaman pra-sejarah, sampai dengan perkembangan kontemporer. Cerita-cerita sejarah yang terdapat dalam buku-buku pelajaran sejarah tersebut, merupakan kesan atau tafsiran dari si penulis buku.

Sebagaimana telah dikemukan di atas, bahwa sejarah sebagai kisah akan subjektif sifatnya. Interpretasi atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis sejarah akan subjektif. Subjektifitas tersebut terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor kepribadian dari si penulis atau penutur sejarah. 

Faktor-faktor tersebut yaitu :

A. Kepentingan atau interes dan nilai-nilai

Penulis atau sejarah memiliki kepentingan dalam menulis atau menuturkan sejarah. Kepentingan ini bisa bersifat pribadi atau kelompok. Dalam biografi kepentingan penulisan sejarah yang bersifat pribadi akan begitu nampak. Seorang tokoh secara pribadi dalam biografinya ingin menunjukkan bahwa pribadinyapun memiliki peran dalam sebuah pristiwa penting. Peran pribadinya dia tonjolkan, mungkin setelah dia baca buku-buku sejarah yang ada ternyata tidak mencantumkan dirinya sebagai salah satu tokoh penting, bahkan mungkin saja buku-buku sejarah yang ada memojokkan. Maka dia ingin “meluruskan” peristiwa sejarah tersebut, atau memberikan informasi lain tentang peristiwa sejarah. Misalnya dalam pertempuran di daerah tertentu ketika menghadapi Belanda, buku-buku sejarah yang ada umumnya tidak mencantumkan dirinya sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam bentrok senjata dengan Belanda, padahal menurut pendapatnya, konflik senjata dengan Belanda berasal dari inisiatifnya.

Kepentingan kelompok tergantung pada jenis-jenis kelompoknya, bisa kelompok berdasarkan etnis atau latar belakang budaya atau daerah, agama, profesi, pekerjaan, status sosial, dan jenis-jenis kelompok lainya. Penulisan sejarah daerah biasanya lebih mementingkan pada aspek-aspek penting di daerah tersebut. Daerah bisa dalam bentuk kota, kabupaten, dan provinsi. Misalnya sejarah daerah Jawa Barat, penulisan sejarah seperti ini akan mementingkan hal-hal penting dari sejarah yang ada di Jawa Barat, yang etnisnya sebagian besar suku Sunda. Kepentingan agama misalnya penulisan sejarah perkembangan mesjid-mesjid di Indonesia, bagaimana perkembangan agama Islam melalui perkembangan mesjid. Sejarah profesi misalnya sejarah perkembangan profesi guru, bagaimana peran-peran yang penting yang dilakukan oleh guru sebagai figur yang terlibat langsung dalam pendidikan. 

Nilai-nilai yang dimiliki oleh penulis atau penutur sejarah akan mewarnai penulisan atau penuturan sejarahnya. Yang dimaksud dengan nilai-nilai ini, bisa berupa keyakinan yang bersumber dari agama atau moral etika lainnya, nilai-nilai nasionalisme, nilai-nilai perjuangan dan lain-lain yang dimiliki oleh penulis atau penutur sejarah. Bagi seorang penulis sejarah yang memiliki nilai-nilai semangat keagamaan yang tinggi kemungkinan akan memberikan warna semangat keagamaan ketika dia menulis sejarah yang berkaitan dengan perjuangan agama. Misalnya seorang aktivis sebuah organisasi Islam ketika menulis sejarah organisasinya, tentu akan menggambarkan sejarah organisasinya sebagai sebuah organisasi yang memiliki semangat juang yang tinggi dalam mengembangkan dawah Islam. Pendekatan nilai-nilai keagamaan mewarnai penulisan sejarah tersebut.

Kisah perjuangan yang ditulis oleh seorang purnawirawan tentang perlawanan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda akan diwarnai oleh nilai-nilai nasionalisme yang tinggi. Cerita bagaimana heroismenya para pejuang dalam menghadapi penjajahan. Para pejuang digambarkan sebagai orang-orang yang berperang dalam rangka membela kebenaran. Belanda atau penjajah digambarkan sebagai pihak yang berada pada pihak yang tidak terpuji karena menjajah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sedangkan para pejuang berada pada pihak yang benar.

Begitu pula apabila kita meminta kepada seorang pejuang yang pernah terlibat langsung dalam perang dengan Belanda ketika awal kemerdekaan, untuk menuturkan kisah perjuangannya. Sebagai seorang pejuang yang memiliki semangat juang yang tinggi, akan menuturkan dengan semangatnya betapa para pejuang bangsa Indonesia pada saat itu berjuang tanpa pamrih. Mereka berjuang memiliki semangat rela berkorban yang tinggi, mementingkan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan pribadi. Jiwa dan raga adalah taruhannya dalam berjuang.

B. Kelompok Sosialnya

Kelompok sosial maksudnya adalah lingkungan dimana ia bergaul berhubungan dengan sesama pekerjaannya atau statusnya. Penulisan sejarah biasanya dilakukan oleh ahli sejarah atau sejarawan dan juga oleh penulis-penulis yang bukan sejarawan, seperti wartawan, kolumnis (penulis artikel di koran atau majalah), guru, dan lain-lain. Perbedaan latar belakang kelompok sosial akan memberikan perbedaan pula dalam penulisan sejarah.

Seorang sejarawan, akan menulis sejarah dengan menggunakan kaidah-kaidah akademik dari ilmu sejarah. Langkah-langkah penelitian sejarah sebagai salah satu dari disiplin ilmu pengetahuan akan digunakan oleh sejarawan dalam menulis sejarah. Sejarah yang ditampilkan oleh seorang sejarawan bukan hanya sekedar bercerita seperti halnya orang mendongeng, tetapi sejarah sebagai ilmu. Karya-karya penulisan sejarah ini seperti skripsi-skripsi yang ditulis oleh mahasiswa di Jurusan Sejarah, tesis atau disertasi sejarah di tingkat pascasarjana yang ada di perguruan tinggi. Penulisan sejarah seperti ini, biasanya tersebar di kalangan terbatas terutama di lingkungan akademik. Hasil dari penulisan sejarah ini, biasanya bukan untuk konsumsi umum, tetapi lebih dipentingkan untuk kalangan akademisi atau perguruan tinggi. Penjelasan terhadap peristiwa sejarah menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu-ilmu sosial. 

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, beberapa contoh penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang guru atau pendidik adalah buku-buku teks pelajaran sekolah baik yang dipakai di tingkat dasar dan sekolah menengah. Profesi guru adalah sebagai pendidik dan pengajar. Tugas sebagai pengajar adalah memberikan pengetahuan kepada siswa, dari tidak tahu siswa menjadi tahu. Sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membentuk perilaku dan moral siswa. Maka penulisan buku sejarah akan dipengaruhi oleh profesinya sebagai pengajar dan pendidik. 

Buku-buku sejarah yang ditulis oleh guru memiliki dua aspek dalam hal uraiannya yaitu memberikan informasi pengetahuan sejarah dan mengembangkan nilai-nilai dari peristiwa-peristiwa sejarah. Aspek pengetahuan sejarah, seperti pengetahuan tentang tokoh-tokoh penting, peristiwa-peristiwa, tahun atau tanggal kejadian, dan pengetahuan lainnya. Sedangkan aspek nilai-nilai misalnya dalam uraian konflik-konflik senjata para pejuang dengan Belanda di daerah-daerah, disamping diketahui siapa tokoh-tokohnya, kapan terjadinya, bagaimana jalannya kejadian, tetapi tulisan sejarah guru tersebut dapat mengembangkan nilai-nilai apa saja dari peristiwa tersebut. Nilai-nilai tersebut misalnya betapa para pahlawan memiliki semangat rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, keberanian mengambil keputusan, dan nilai-nilai lainnya. 

Penulisan sejarah yang ditulis oleh seorang wartawan kemungkinan akan dipengaruhi oleh gaya kewartawanannya. Uraian narasi suatu peristiwa disampaikan dengan bahasa yang layaknya dikonsumsi oleh masyarakat umum. Misalnya seorang wartawan menulis biografi seorang tokoh. Dengan bahasa kewartawanannya, wartawan tersebut menulis tokoh yang ditulisnya berupaya agar tokoh tersebut bisa dikenal oleh masyarakat umum. Penonjolan-penonjolan peran pribadi dari tokoh tersebut menjadi perhatian utama dari penulisannya.

C. Perbendaharaan pengetahuan

Seberapa jauh pengetahuan sejarah yang dimiliki oleh penulis dan penutur sejarah akan mempengaruhi dalam menyampaikan kisah sejarah. Pengetahuan yang dimaksud di sini baik pengetahuan fakta maupun pengetahuan dari ilmu pengetahuan. Bagi penulis atau penutur yang memiliki fakta sejarah yang cukup lengkap, akan mengisahkan dengan lebih luas, walaupun dalam mengisahkannya tidak akan seluruh fakta dikisahkan, sebab penulis atau penutur sejarah akan melakukan seleksi terhadap fakta-fakta yang telah diketahuinya. Seleksi ini dilakukan oleh berbagai pertimbangan misalnya kepentingan, kegunaan, kepribadian, tujuan, dan lain-lain.

Seorang saksi yang langsung menyaksikan atau terlibat dalam suatu peristiwa sejarah akan memiliki pengetahuan fakta yang lebih banyak dibanding dengan orang yang tidak terlibat langsung, walaupun orang tersebut mengetahuinya. Misalnya apabila kita menanyakan kepada seorang veteran yang sekarang masih hidup dan terlibat langsung dalam kegiatan gerilya ketika menghadapi perang dengan Belanda, maka orang tersebut akan bercerita banyak mengisahkan bagaimana gerilya yang dia lakukan. Veteran tersebut akan mengisahkan jalur-jalur yang dilalui ketika bergerilya, bagaimana strategi yang dilakukan agar tidak diketahui oleh Belanda, bagaimana sikap masyarakat yang membantu para pejuang, berapa orang yang ikut terlibat, dan pengetahuan-pengetahuan fakta lainnya. Walaupun pengetahuan faktanya banyak, veteran tersebut kemungkinan akan mengisahkan perjuangan gerilya yang lebih banyak berkaitan dengan dirinya, dia melakukan seleksi terhadap sumber sejarah. Lain halnya kalau kita menanyakan kepada masyarakat yang tidak terlibat dalam perang gerilya, walaupun masyarakat tersebut melihat langsung ketika para pejuang melewati daerahnya. Masyarakat tersebut akan mengisahkan sangat terbatas, hanya sebatas apa yang ia lihat atau dengar ketika perang gerilya itu berlangsung. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh penulis sejarah akan mempengaruhi terhadap hasil tulisannya. Seorang penulis sejarah yang memiliki sumber-sumber atau fakta sejarah yang banyak, maka ia akan menampilkan suatu kisah sejarah yang lebih mendalam. Disamping pengetahuan fakta yang dimiliki oleh seorang penulis sejarah dalam mengisahkannya akan dipengaruhi pula oleh pengetahuan dalam hal ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penulisan sejarah khususnya pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu sejarah.

Seorang penulis sejarah yang berasal dari kalangan sejarawan atau orang yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah, akan memiliki perbedaan dalam mengisahkan sejarah dengan orang yang bukan sejarawan atau tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah. Dalam mengisahkan suatu peristiwa sejarah seorang sejarawan atau orang yang memiliki latar belakang pendidikan sejarah, akan menggunakan analisis berdasarkan pada metodologi dan teori yang digunakannya. Bukan hanya sekedar cerita yang bersifat naratif atau hanya menyajikan rentetan waktu dan peristiwa. Sejarah pada dasarnya adalah sejarah masyarakat, maka sejarawan akan melihat masyarakat sebagai suatu struktur. Dalam konteks waktu bagaimana struktur itu berubah. Misalnya bagaimana perubahan yang terjadi pada masyarakat dalam suatu desa dari tahun 1970-1980 ketika munculnya industrialisasi dalam bentuk dibangunnya pabrik-pabrik di daerah desa tersebut ? apakah masyarakat berubah pekerjaan dari petani menjadi tukang ojek ? dari petani menjadi kuli bangunan ? dari petani menjadi buruh pabrik ?. 

Lain halnya kalau sejarah dikisahkan oleh orang yang bukan seorang sejarawan. Kisah sejarah lebih banyak berupa cerita yang sebatas pada rentetan waktu dan peristiwa. Seleksi terhadap fakta-fakta sejarah tidak bersifat analisis. Kisah cerita sejarah lebih banyak menampilkan apa yang terjadi, siapa tokohnya, kapan peristiwa itu terjadi dan dimana peristiwa itu terjadi. Bahkan kalau sejarah itu bercerita tentang seseorang pada masa lalunya, ada kesan bahwa orang tersebut melakukan suatu tindakan yang benar, tidak ada kesalahannya. Penulisan sejarah yang seperti inilah yang biasanya menimbulkan kontraversial di kalangan masyarakat. Kritik terhadap sumber yang bersifat analitis tidak banyak dilakukan. Kebenaran bukan didasarkan pada sumber atau faktanya, tetapi lebih pada cerita yang dikisahkannya atau sering dikatakan retorikanya.

D. Kemampuan berbahasa 

Fakta yang ditemukan oleh seorang penulis sejarah akan dikemukakan dalam bentuk bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Walaupun seorang penulis sejarah ketika mengkisahkan suatu peristiwa sejarah memiliki sumber atau data yang cukup banyak, tetapi apabila gaya penyampaiannya dengan bahasa yang sulit dimengerti oleh pembaca, maka cerita sejarah itu akan menjadi kering, tidak hidup.

Kemampuan berbahasa dalam menulis sejarah dapat berupa kemampuan berimaginasi. Berimaginasi dalam menulis sejarah yaitu bagaimana seorang penulis sejarah merekonstruksi terhadap fakta-fakta atau bukti-bukti sejarah yang kemudian ia susun dalam bentuk cerita sejarah yang dapat dibaca oleh orang lain. Seorang penulis sejarah bagaikan seseorang yang mampu menghidupkan masa lalu dari bukti-bukti sejarah yang terpisah-pisah. Kemampuan merekonstruksi dapatlah kita ibaratkan seperti batangan-batangan korek api yang berserakan. Dari batangan-batangan itu kemudian kita menyususun berbagai bentuk mainan-mainan misalnya rumah-rumahan, pestol-pestolan, dan bentuk-bentuk mainal lainnya. Batangan-batangan korek api merupakan fakta atau peninggalan sejarah, sedangkan bentuk mainan-mainan itu rekonstruksi imaginatif dari seorang sejarawan. 

Bentuk yang bermacam-macam dari rekonstruksi batangan korek api itu akan sangat ditentukan oleh kemampuan berbahasa. Merekonstruksi imaginasi merupakan kemampuan berbahasa. Bentuk mainan korek api itu menjadi menarik, indah dipandang, sama halnya dengan penggunaan gaya bahasa imaginatif yang indah dan enak dibaca. Masa lalu akan menjadi hidup manakala seorang penulis sejarah mampu mengkisahkan dengan gaya bahasa yang baik.

Ruang Lingkup Sejarah Sebagai Kisah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

0 komentar:

Posting Komentar

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com